Senin, 06 Agustus 2012

Anjuran dan hikmah dalam silaturahim dan ancaman bagi yang memutuskannya

Taukah kita apa itu Keutamaan
dalam silaturahim ?
Ada sebuah hadits yang perlu kita
renungi
ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻲْ ﺫَﺭٍّ ﻗَﺎﻝَ: ﺃَﻭْﺻَﺎﻧِﻲْ ﺧَﻠِﻴْﻠِﻲ ﺑِﺴَﺒْﻊٍ :
ﺑِﺤُﺐِّ ﺍﻟْﻤَﺴَﺎﻙِﻳْﻦِ ﻭَﺃَﻥْ ﺃَﺩْﻧُﻮَ ﻣِﻨْﻬُﻢْ، ﻭَﺃَﻥْ ﺃَﻧْﻈُﺮَ ﺇِﻟَﻰ ﻣَﻦْ ﻫُﻮَ ﺃَﺳْﻔَﻞُ ﻣِﻨِّﻲ ﻭَﻻَ ﺃَﻧْﻈُﺮَ ﺇِﻟَﻰ ﻣَﻦْ ﻫُﻮَ ﻓَﻮﻗِﻲْ، ﻭَﺃَﻥْ ﺃَﺻِﻞَ ﺭَﺣِﻤِﻲْ ﻭَﺇِﻥْ ﺟَﻔَﺎﻧِﻲْ، ﻭَﺃَﻥْ ﺃُﻛْﺜِﺮَ ﻣِﻦْ ﻻَ ﺣَﻮْﻝَ ﻭَﻻَ ﻗُﻮَّﺓَ ﺇِﻻَّ ﺑِﺎﻟﻠﻪِ، ﻭَﺃَﻥْ ﺃَﺗَﻜَﻠَّﻢَ ﺑِﻤُﺮِّ ﺍﻟْﺤَﻖِّ، ﻭَﻻَ ﺗَﺄْﺧُﺬْﻥِﻱْ ﻓِﻲ ﺍﻟﻠﻪِ
ﻟَﻮْﻣَﺔُ ﻻَﺋِﻢٍ، ﻭَﺃَﻥْ ﻻَ ﺃَﺳْﺄَﻝَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱَ ﺷَﻴْﺌًﺎ.

Terjemah
Dari Abu Dzar Radhiyallahu
'anhu , ia berkata: “Kekasihku
(Rasulullah) Shallallahu 'alaihi wa
sallam berwasiat kepadaku
dengan tujuh hal:
(1) supaya aku
mencintai orang-orang miskin dan
dekat dengan mereka,
(2) beliau
memerintahkan aku agar aku
melihat kepada orang yang
berada di bawahku dan tidak
melihat kepada orang yang
berada di atasku,
(3) beliau
memerintahkan agar aku
menyambung silaturahimku
meskipun mereka berlaku kasar
kepadaku,
(4) aku dianjurkan
agar memperbanyak ucapan lâ
haulâ walâ quwwata illâ billâh
(tidak ada daya dan upaya kecuali
dengan pertolongan Allah),
(5)
aku diperintah untuk mengatakan
kebenaran meskipun pahit,
(6)
beliau berwasiat agar aku tidak
takut celaan orang yang mencela
dalam berdakwah kepada Allah,
dan
(7) beliau melarang aku agar
tidak meminta-minta sesuatu pun
kepada manusia
Dan diantara keutamaan yang
akan
diraih oleh orang yang selalu
melakukan silahturahim :
1. Akan diluaskan rizkinya.
Rosulullah saw bersabda, “
Barang siapa yang suka
diluaskan rizki dan
dipanjangkan umurnya maka
hendaklah ia menyambung tali
silaturahmi.” (HR. Bukhari,
Muslim dan
Abu Dawud).
2. Akan diperpanjang umurnya.
3. Akan selalu berhubungan
dengan Allah swt. Dari ‘Aisyah ra
berkata, Rosulullah saw
bersabda,
"Silaturahmi itu tergantung di
`Arsy (Singgasana Allah) seraya
berkata: "Barangsiapa yang
menyambungku maka Allah
akan menyambung hubungan
dengannya, dan barangsiapa
yang
memutuskanku maka Allah akan
memutuskan hubungan
dengannya" (HR. Bukhari dan
Muslim).
4. Akan dimasukan kedalam
golongan yang beriman kepada
Allah dan hari akherat. Dari Abu
Hurairah ra
sesunguhnya Rosulullah saw
bersabda,
Barang siapa yang
beriman pada Allah dan hari
akherat maka
lakukanlah silaturahim (HR.
Bukhari dan Muslim).
Sedangkan ancaman dan akibat
yang akan didapat oleh orang
yang memutus hubungan
silaturahim adalah :
1. Akan terputus hubungannya
dengan Allah swt.
Rosulullah saw bersabda, "...dan
barangsiapa yang
memutuskanku maka Allah akan
memutuskan
hubungan dengannya" (HR.
Bukhari, dan Muslim).
2. Tidak termasuk golongan yang
beriman kepada Allah swt dan
hari akherat.
3. Akan sempit rizkinya.
4. Akan pendek umurnya.
5. Akan dilaknat oleh Allah dan
dimasukan kedalam neraka
jahanam. (QS.13:25 & 47:22,23)
6. Tidak masuk surga. Dari Abu
Muhammad Jubair bin Mut’im ra
sesungguhnya Rosulullah saw
bersabda,
“Tidak akan masuk surga orang
yang memutus hubungan
silaturahim.” (HR. Bukhari dan
Muslim).
Itulah beberapa keutamaan bagi
orang yang melakukan
silaturahim dan ancaman bagi
orang yang meninggalkannya.
Semoga kita termasuk manusia
yang tergolong cinta dengan yang
namanya silaturahim
Aamiin

Senin, 11 Juni 2012

NASEHAT IMAM AL GHODZALI

~ Pejuang-pejuang kebenaran yang hakiki adalah PENYELAMAT dan pembawa KASIH SAYANG serta AKHLAK MULIA. Mereka bukan pengganas dan bukan pengacau dan bukan teroris. Pejuang kebenaran menyelamatkan Iman, Akhirat, Syariat dan Akhlak manusia.
Pejuang-pejuang kebenaran adalah ” RUH BANUN FIL LAILI WA FURSAN BINNAHAR” yaitu mereka senantiasa beribadah dan bermanja2, serta bertaubat dan menangis dengan Tuhan [bagaikan ABID] di malam hari. Lalu mereka berjuang di siangnya bagaikan SINGA menegakkan sistem AKHLAK dan sistem hidup Islam di seluruh aspek kehidupan ~

————————————————————————————–
Di bawah ini adalah nasehat Imam AL GHAZALI Rahimahumullahu Ta’ala khusus buat kita yang mengaku pejuang-pejuang kebenaran :
“Jika engkau mau mengikuti petunjuk para Imam, kuatkanlah dirimu untuk menerima musibah-musibah dengan jiwa yang tabah, sewaktu menghadapi setiap kepahitan, dan dengan hati yang sabar, walaupun dadamu bergoncang.
“Lisanmu dikunci, matamu dikendalikan, rahasiamu disembunyikan hanya untuk diketahui oleh Tuhanmu saja.
“Namamu biarlah tidak terkenal, pintu rumahmu tertutup rapat, bibirmu tersenyum, perutmu kelaparan, hatimu terluka, pasarmu tiada sambutan, pangkatmu dipendam dan keaibanmu ditonjolkan.
“Setiap hari kamu menelan rasa pahit dari pengaruh zaman dan teman, sedangkan hatimu menurut dalam sadar.
“Pada waktu siang, hendaklah kamu sibuk mengislahkan (mendamaikan) manusia tanpa pamrih. Malam kamu tenggelam dalam keasyikan kepada Tuhan.”
“Ambillah kesempatan pada waktu malam. Jadikanlah ia jalan dan persiapan untuk hari kiamat yang padanya sukar sekali untuk mencari jalan.”
Berjuang itu Berat,
Hanya Hati yang benar-benar Pejuang yang Sanggup Terus Bertahan…

Kesunnahan Melafadzkan Niat (Talaffudz binniyah)


Kesunnahan Melafadzkan Niat (Talaffudz binniyah)

Melafadzkan niat sudah masyhur dikalangan masyarakat, hal ini bukan tanpa dasar tapi karena memang memiliki landasan dalam ilmu fiqh. Contoh melafadzkan niat adalah membaca “ushulli fardhush shubhi rak’atayni mustaqbilal kiblati ada’an lillahi ta’ala”, hal semacam ini biasa dibaca oleh kalangan Muslimin (terutama di Indonesia) sebelum Takbiratul Ihram artinya dibaca sebelum melaksanakan shalat, tidak bersamaan dengan shalat dan bukan bagian dari rukun shalat.

Seperti yang sudah diketahui bahwa permulaan shalat adalah niat dan takbiratul ihram dilakukan bersamaan dengan niat. Niat tidak mendahului takbir (Takbiratul Ihram) dan tidak pula sesudah takbir. Sebagaimana dikatakan oleh al-Imam asy-Syafi’I dalam kitab Al-Umm Juz 1, pada Bab Niat pada Shalat (باب النية في الصلاة ) ;

قال الشافع: والنية لا تقوم مقام التكبير ولا تجزيه النية إلا أن تكون مع التكبير لا تتقدم التكبير ولا تكون بعده

“..niat tidak bisa menggantikan takbir, dan niat tiada memadai selain bersamaan dengan Takbir, niat tidak mendahului takbir dan tidak (pula) sesudah Takbir.”

Sekali lagi, niat itu bersamaan dengan Takbir. Hal senada juga dinyatakan oleh al-‘Allamah asy-Syaikh Zainuddin bin Abdul ‘Aziz al-Malibariy asy-Syafi’i dalam Fathul Mu’in Hal 16 ;

. (مقرونا به) أي بالتكبير، (النية) لان التكبير أول أركان الصلاة فتجب مقارنتها به،

“..Takbiratul ihram harus dilakukan bersamaan dengan niat (shalat), karena takbir adl rukun shalat yang awal, maka wajib bersamaan dengan niat”

Al-Imam An-Nawawi, didalam Kitab Raudhatut Thalibin, pada fashal (فصل في النية يجب مقارنتها التكبير)

يجب أن يبتدىء النية بالقلب مع ابتداء التكبير باللسان
“diwajibkan memulai niat dengan hati bersamaan dengan takbir dengan lisan”

Al-Qadhi Abu al-Hasan al-Mahamiliy, didalam kitab Al-Lubab fi al-Fiqh asy-Syafi’i, pada pembahasan (باب فرائض الصلاة) ;

النية، والتكبير، ومقارنة النية للتكبير
“Niat dan Takbir, niat bersamaan dengan takbir”

Asy-Syekh Abu Ishaq asy-Syairaziy, didalam Tanbih fi Fiqh Asy-Syafi’i (1/30) :

وتكون النية مقارنة للتكبير لا يجزئه غيره والتكبير أن يقول ألله أكبر أو الله الأكبر لا يجزئه غير ذلك
“dan adanya niat bersamaan dengan takbir, tidak cukup selain itu. dan takbir yaitu mengucapkan (ألله أكبر) atau ( الله الأكبر), selain yang demikian tidaklah cukup (bukan takbir).”

Jadi, shalat telah dinyatakan mulai manakala sudah takbiratul Ihram yg sekaligus bersamaan dengan niat (antara niat dan takbir adalah bersamaan). Aktifitas atau ucapan apapun sebelum itu, bukanlah masuk dalam rukun shalat, demikian juga dengan melafadzkan niat, bukan masuk dalam bagian dari (rukun) shalat.

Didalam melakukan niat shalat fardlu, diwajibkan memenuhi unsur-unsur sebagai berikut ;

- Qashdul fi’li (قصد فعل) yaitu menyengaja mengerjakannya, lafadznya seperti (أصلي /ushalli/”aku menyengaja”)

- Ta’yin (التعيين) maksudnya adalah menentukan jenis shalat, seperti Dhuhur atau Asar atau Maghrib atau Isya atau Shubuh.

- Fardliyah (الفرضية) maksudnya adala menyatakan kefardhuan shalat tersebut, jika memang shalat fardhu. Adapun jika bukan shalat fardhu (shalat sunnah) maka tidak perlu Fardliyah (الفرضية).

Jadi berniat, semisal (ﺍﺼﻠﻰ ﻓﺮﺽ ﺍﻟﻈﻬﺮ ﺃﺩﺍﺀ ﻟﻠﻪ ﺗﻌﻠﻰ/”Sengaja aku shalat fardhu dhuhur karena Allah”) saja sudah cukup.

Sekali lagi, niat tersebut dilakukan bersamaan dengan Takbiratul Ihram. Yang dinamakan “bersamaan” atau biasa disebut Muqaranah (ﻣﻘﺎﺭﻧﻪ) mengadung pengertian sebagai berikut (Fathul Mu’in Bisyarhi Qurratu ‘Ayn),

. وفي قول صححه الرافعي، يكفي قرنها بأوله
“Menurut pendapat (qoul) yang telah dishahihkan oleh Al-Imam Ar-Rafi’i. bahwa cukup dicamkan bersamaan pada awal Takbir”.

وفي المجموع والتنقيح المختار ما اختاره الامام والغزالي: أنه يكفي فيها المقارنة العرفية عند العوام بحيث يعد مستحضرا للصلاة
“Didalam kitab Al-Majmu dan Tanqihul Mukhtar yang telah di pilih oleh Al-Imam Ghazali, bahwa “bersamaan” itu cukup dengan kebiasaan umum (‘Urfiyyah/ العرفية), sekiranya (menurut kebiasaan umum) itu sudah bisa disebut mencamkan shalat (al-Istihdar al-‘Urfiyyah)”

Imam Al-Ibnu Rif’ah dan A-Imam As-Subki membenarkan pernyataan diatas, dan Al-Imam As-Subki mengingatkan bahwa yang tidak menganggap/menyakini bahwa praktek seperti atas (Muqaranah Urfiyyah ( ﻣﻘﺎﺭﻧﻪ ﻋﺭﻓﻴﻪ )) tidak cukup menurut kebiasaan), maka ia telah terjerumus kepada kewas-wasan.

Pada dasarnya “bersamaan” atau biasa disebut Muqaranah (ﻣﻘﺎﺭﻧﻪ) adalah berniat yang bersamaan dengan takbiratul Ihram mulai dari awal takbir sampai selesai mengucapkannya, artinya keseluruhan takbir, inilah yang dinamakan Muqaranah Haqiqah ( ﻣﻘﺎﺭﻧﻪ ﺣﻘﻴﻘﺔ ).

Namun, jika hanya dilakukan pada awalnya saja atau akhir dari bagian takbir maka itu sudah cukup dengan syarat harus yakin bahwa yang demikian menurut kebiasaan (Urfiyyah) sudah bisa dinamakan bersamaan, inilah yang dinamakan Muqaranah Urfiyyah ( ﻣﻘﺎﺭﻧﻪ ﻋﺭﻓﻴﻪ ).

Menurut pendapat Imam Madzhab selain Imam Syafi’i, diperbolehkan mendahulukan niat atas takbiratul Ihram dalam selang waktu yang sangat pendek.

Tempatnya niat adalah di dalam hati. Sebagaimana diterangkan dalam Fiqh Sunnah, Sayyid Sabiq, pada pembahasan فرائض الصلاة

ومحلها القلب لا تعلق بها باللسان أصلا
“niat tempatnya didalam hati, pada asalnya tidak terikat dengan lisan”

Al-Allamah Al-Imam An-Nawawi, dalam kitab Al-Majmu’ (II/43) :

فإن نوى بقلبه دون لسانه أجزأه
“sesungguhnya niat dengan hati tanpa lisan sudah cukup,

Al-Imam Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Qasim asy-Syafi’i, didalam Kitab Fathul Qarib, pada pembahasan Ahkamush Shalat ;

النِّيَةُ) وَ هِيَ قَصْدُ الشَّيْءِ مُقْتَرَناً بِفِعْلِهِ وَ مُحَلُّهَا اْلقَلْبُ
“niat adalah memaksudkan sesuatu bersamaan dengan perbuatannya dan tempat niat itu berada di dalam hati.”

Al-Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Husaini, didalam Kifayatul Ahyar, pada bab (باب أركان الصلاة)]

واعلم أن النية في جميع العبادات معتبرة بالقلب فلا يكفي نطق للسان
“Ketahuilah bahwa niat dalam semua ibadah menimbang dengan hati maka tidak cukup hanya dengan melafadzkan dengan lisan”

Demikian juga dikatakan dalam kitab yang sama (Kifayatul Akhyar) pada bab باب فرائض الصوم

لا يصح الصوم إلا بالنية للخبر، ومحلها القلب، ولا يشترط النطق بها بلا خلاف
Tidak sah puasa kecuali dengan niat, berdasarkan khabar (hadits shahih), tempatnya niat didalam hati, dan tidak syaratkan mengucapkannya tanpa ada khilaf”

Keterangan : pada bab Fardhu Puasa ini, mengucapkan niat tidak disyaratkan artinya bukan merupakan syarat dari puasa. Dengan demikian tanpa mengucapkan niat, puasa tetap sah. Demikian juga dengan shalat, melafadzkan (mengucapkan) niat shalat bukan merupakan syarat dari shalat, bukan bagian dari fardhu shalat (rukun shalat). Jadi, baik melafadzkan niat (talaffudz binniyah) maupun tidak, sama sekali tidak menjadikan shalat tidak sah, tidak pula mengurangi atau menambah-nambah rukun shalat.

Al-Imam Ibnu Hajar Al-Haitamiy, didalam Tuhfatul Muhtaj (تحفة المحتاج بشرح المنهاج) [II/12] :

والنية بالقلب
“dan niat dengan hati”

Al-Hujjatul Islam Al-’Allamah Al-Faqih Al-Imam Al-Ghazaliy, didalam kitab Al-Wajiz fi Fiqh Al-Imam Asy-Syafi’i, Juz I, Kitabus Shalat pada al-Bab ar-Rabi’ fi Kaifiyatis Shalat ;

“niat dengan hati dan bukan dengan lisan”

Semua keterangan diatas hanya menyatakan bahwa niat tempatnya didalam hati (tidak ada cap bid’ah), niat amalan hati atau niat dengan hati. Demikian juga dengan niat shalat adalah didalam hati, sedangkan melafadzkan niat (Talaffudz binniyah) bukanlah merupakan niat, bukan pula aktifitas hati (bukan amalan hati) namun aktifitas yang dilakukan oleh lisan. Niat dimaksudkan untuk menentukan sesuatu aktifitas yang akan dilakukan, niat dalam shalat dimaksudkan untuk menentukan shalat yang akan dilakukan. Dengan kata lain, niat adalah memaksudkannya sesuatu. Ibnu Manzur dalam kitabnya yang terkenal yaitu Lisanul ‘Arab (15/347) berkata ;

” Meniatkan sesuatu artinya memaksudkannya dan meyakininya. Niat adalah arah yang dituju”.

Sebagaimana juga dikatakan didalam kitab Fathul Qarib :

وَ هِيَ قَصْدُ الشَّيْءِ مُقْتَرَناً بِفِعْلِهِ
“niat adalah memaksudkan sesuatu bersamaan dengan perbuatannya”

Al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Madzhab Al-Imam asy-Syafi’i, pada pembahasan Arkanush Shalat ;

وهي قصد الشيء مقترناً بأول أجزاء فعله، ومحلها القلب. ودليلها قول النبي”إنما الأعمال بالنيات”
“(Niat), adalah menyengaja (memaksudkan) sesuatu bersamaan dengan sebagian dari perbuatan, tempatnya didalam hati. dalilnya sabda Nabi SAW ; (“إنما الأعمال بالنيات”)”

Al-’Allamah Asy-Syekh Muhammad Az-Zuhri Al-Ghamrawiy, didalam As-Siraj Al-Wahaj (السراج الوهاج على متن المنهاج)

وهي شرعا قصد الشيء مقترنا بفعله وأما لغة فالقصد
“(niat) menurut syara’ adalah menyengaja sesuatu bersamaan dengan perbuatan, dan menurut lughah adl menyengaja”

Maka, selagi lagi kami perjelas. Niat adalah amalan hati, niat shalat dilakukan bersamaan dengan takbiratul Ihram, merupakan bagian dari shalat (rukun shalat), adapun melafadzkan niat (mengucapkan niat) adalah amalan lisan (aktifitas lisan), yang hanya dilakukan sebelum takbiratul Ihram, artinya dilakukan sebelum masuk dalam bagian shalat (rukun shalat) dan bukan merupakan bagian dari rukun shalat. Niat shalat tidak sama dengan melafadzkan niat.

Melafadzkan niat (Talaffudz binniyah) hukumnya sunnah. Kesunnahan ini diqiyaskan dengan melafadzkan niat Haji, sebagaimana Rasulullah dalam beberapa kesempatan melafadzkan niat yaitu pada ibadah Haji.

عَنْ اَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : لَبَّيْكَ عُمْرَةً وَحَجًّا (رواه مسلم)

“Dari sahabat Anas ra berkata : “Saya mendengar Rasulullah SAW mengucapkan “Aku memenuhi panggilan-Mu (Ya Allah) untuk (mengerjakan) umrah dan haji” (HR. Imam Muslim)

Dalam buku Fiqh As-Sunnah I halaman 551 Sayyid Sabiq menuliskan bahwa salah seorang Sahabat mendengar Rasulullah SAW mengucapkan (نَوَيْتُ الْعُمْرَةَ اَوْ نَوَيْتُ الْحَجَّ) “Saya niat mengerjakan ibadah Umrah atau Saya niat mengerjakan ibadah Haji”

أنه سمعه صلى الله عليه وسلم يقول : ” نويت العمرة ، أو نويت الحج

Memang, ketika Rasulullah SAW melafadzkan niat itu ketika menjalankan ibadah haji, namun ibadah lainnya juga bisa diqiyaskan dengan hal ini, demikian juga kesunnahan melafadzkan niat pada shalat juga diqiyaskan dengan pelafadzan niat dalam ibadah haji. Hadits tersebut merupakan salah satu landasan dari Talaffudz binniyah.

Hal ini, sebagaimana juga dikatakan oleh al-‘Allamah al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami (ابن حجر الهيتمي ) didalam Kitab Tuhfatul Muhtaj (II/12) ;

(ويندب النطق) بالمنوي (قبيل التكبير) ليساعد اللسان القلب وخروجا من خلاف من أوجبه وإن شذ وقياسا على ما يأتي في الحج

“Dan disunnahkan melafadzkan (mengucapkan) niat sebelum takbir, agar lisan dapat membantu hati dan juga untuk keluar dari khilaf orang yang mewajibkannya walaupun (pendapat yang mewajibkan ini) adalah syad ( menyimpang), dan Kesunnahan ini juga karena qiyas terhadap adanya pelafadzan dalam niat haji”

Qiyas juga menjadi dasar dalam ilmu Fiqh,

Al-Allamah Asy-Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz didalam Fathul Mu’in Hal. 1 :

واستمداده من الكتاب والسنة والاجماع والقياس.
Ilmu Fiqh dasarnya adalah kitab Al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma dan Qiyas.

Al-Imam Nashirus Sunnah Asy-Syafi’i, didalam kitab beliau Ar-Risalah الرسالة :

أن ليس لأحد أبدا أن يقول في شيء حل ولا حرم إلا من جهة العلم وجهة العلم الخبر في الكتاب أو السنة أو الأجماع أو القياس
..selamanya tidak boleh seseorang mengatakan dalam hukum baik halal maupun haram kecuali ada pengetahuan tentang itu, pengetahuan itu adalah al-Kitab (al-Qur’an), as-Sunnah, Ijma; dan Qiyas.”

قلت لو كان القياس نص كتاب أو سنة قيل في كل ما كان نص كتاب هذا حكم الله وفي كل ما كان نص السنة هذا حكم رسول الله ولم نقل له قياس

Aku (Imam Syafi’i berkata), jikalau Qiyas itu berupa nas Al-Qur’an dan As-Sunnah, dikatakan setiap perkara ada nasnya didalam Al-Qur’an maka itu hukum Allah (al-Qur’an), jika ada nasnya didalam as-Sunnah maka itu hukum Rasul (sunnah Rasul), dan kami tidak menamakan itu sebagai Qiyas (jika sudah ada hukumnya didalam al-Qur’an dan Sunnah).

Maksud perkataan Imam Syafi’i adalah dinamakan qiyas jika memang tidak ditemukan dalilnya dalam al-Qur’an dan As-Sunnah. Jika ada dalilnya didalam al-Qur’an dan as-Sunnah, maka itu bukanlah Qiyas. Bukankah Ijtihad itu dilakukan ketika tidak ditemukan hukumnya/dalilnya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah ?

Jadi, melafadzkan niat shalat yang dilakukan sebelum takbiratul Ihram adalah amalan sunnah dengan diqiyaskan terhadap adanya pelafadzan niat haji oleh Rasulullah SAW. Sunnah dalam pengertian ilmu fiqh, adalah apabila dikerjakan mendapat pahala namun apabila ditinggalkan tidak apa-apa. Tanpa melafadzkan niat, shalat tetaplah sah dan melafadzkan niat tidak merusak terhadap sahnya shalat dan tidak juga termasuk menambah-nambah rukun shalat.

Ulama Syafi’iyyah & ulama lainnya yang mensunnahkan melafadzkan niat (Talaffudz binniyah) adalah sebagai berikut ;

Al-Allamah asy-Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari (Ulama Madzhab Syafi’iiyah), dalam kitab Fathul Mu’in bi syarkhi Qurratul ‘Ain bimuhimmati ad-Din, Hal. 16 ;

. (و) سن (نطق بمنوي) قبل التكبير، ليساعد اللسان القلب، وخروجا من خلاف من أوجبه.

“Disunnahkan mengucapkan niat sebelum takbiratul ihram, agar lisan dapat membantu hati (kekhusuan hati), dan karena mengindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya.”

Al-Imam Muhammad bin Abi al-’Abbas Ar-Ramli/Imam Ramli terkenal dengan sebutan “Syafi’i Kecil” [الرملي الشهير بالشافعي الصغير] dalam kitab Nihayatul Muhtaj (نهاية المحتاج), juz I : 437 :

وَيُنْدَبُ النُّطْقُ بِالمَنْوِيْ قُبَيْلَ التَّكْبِيْرِ لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ القَلْبَ وَلِأَنَّهُ أَبْعَدُ عَنِ الوِسْوَاسِ وَلِلْخُرُوْجِ مِنْ
خِلاَفِ مَنْ أَوْجَبَهُ

“Disunnahkan (mandub) melafadzkan niat sebelum takbiratul Ihram agar lisan dapt membantu hati (kekhusuan hati), agar terhindar dari gangguan hati (was-was) dan karena mengindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya”.

Asy-Syeikhul Islam al-Imam al-Hafidz Abu Yahya Zakaria Al-Anshariy (Ulama Madzhab Syafi’iyah) dalam kitab Fathul Wahab Bisyarhi Minhaj Thullab (فتح الوهاب بشرح منهج الطلاب) [I/38] :

( ونطق ) بالمنوي ( قبل التكبير ) ليساعد اللسان القلب

“(Disunnahkan) mengucapkan niat sebelum Takbir (takbiratul Ihram), agar lisan dapat membantu hati..”

Diperjelas (dilanjutkan) kembali dalam Kitab Syarah Fathul Wahab yaitu Hasyiyah Jamal Ala Fathul Wahab Bisyarhi Minhaj Thullab, karangan Al-’Allamah Asy-Syeikh Sulaiman Al-Jamal ;

وَعِبَارَةُ شَرْحِ م ر لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ الْقَلْبَ وَلِأَنَّهُ أَبْعَدُ عَنْ الْوَسْوَاسِ وَخُرُوجًا مِنْ خِلَافِ مَنْ أَوْجَبَهُ انْتَهَتْ
“dan sebuah penjelasan, agar lisan lisan dapat membantu hati, terhindar dari was-was, dan untuk mengindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya. selesai”

Al-Imam Syamsuddin Muhammad bin Muhammad Al-Khatib Asy-Syarbainiy, didalam kitab Mughniy Al Muhtaj ilaa Ma’rifati Ma’aaniy Alfaadz Al Minhaj (1/150) ;

( ويندب النطق ) بالمنوي ( قبل التكبير ) ليساعد اللسان القلب ولأنه أبعد عن الوسواس
“Disunnnahkan mengucapkan niat sebelum takbir, agar lisan dapat membantu hati dan sesungguhnya untuk menghindari kewas-was-was-an (gangguan hati)”

Al-’Allamah Asy-Syekh Muhammad Az-Zuhri Al-Ghamrawiy, didalam As-Siraj Al-Wahaj (السراج الوهاج على متن المنهاج) pada pembahasan tentang Shalat ;

ويندب النطق قبيل التكبير
ليساعد اللسان القلب
“dan disunnahkan mengucapkan (niat) sebelum takbiratul Ihram, agar lisan dapat membantu hati”

Al-‘Allamah Sayid Bakri Syatha Ad-Dimyathiy, dalam kitab I’anatut Thalibin (إعانة الطالبين) [I/153] ;

(قوله: وسن نطق بمنوي) أي ولا يجب، فلو نوى الظهر بقلبه وجرى على لسانه العصر لم يضر، إذ العبرة بما في القلب. (قوله: ليساعد اللسان القلب) أي ولانه أبعد من الوسواس. وقوله: وخروجا من خلاف من أوجبه أي النطق بالمنوي
“[disunnahkan melafadzkan niat] maksudnya (melafadzkan niat) tidak wajib, maka apabila dengan hatinya berniat shalat dzuhur namun lisannya mengucapkan shalat asar, maka tidak masalah, yang dianggap adalah didalam hati. [agar lisan membantu hati] maksudnya adalah terhindari dari was-was. [mengindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkan] maksudnya dengan (ulama yang mewajibkan) melafadzkan niat.”

Al-‘Allamah Asy-Syekh Jalaluddin Al-Mahalli, di dalam kitab Syarah Mahalli Ala Minhaj Thalibin (شرح العلامة جلال الدين المحلي على منهاج الطالبين) Juz I (163) :

(وَيُنْدَبُ النُّطْقُ) بِالْمَنْوِيِّ (قُبَيْلَ التَّكْبِيرِ) لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ الْقَلْبَ
“dan disunnahkan mengucapkan niat sebelum takbir (takbiratul Ihram), agar lisan dapat membantu hati””

Didalam Kitab Matan Al-Minhaj lisyaikhil Islam Zakariyya Al-Anshariy fi Madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i :

“(disunnahkan) melafadzkan (mengucapkan) niat sebelum Takbir (takbiratul Ihram)”

Kitab Safinatun Naja, Asy-Syaikh Al-‘Alim Al-Fadlil Salim bin Samiyr Al-Hadlramiy ‘alaa Madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i ;

النية : قصد الشيء مقترنا بفعله ، ومحلها القلب والتلفظ بها سنة
“Niat adalah menyengaja sesuatu bersamaan dengan pekerjaannya, adapun tempatnya niat didalam hati sedangkan mengucapkan dengan lisan itu sunnah”

Didalam kitab Niyatuz Zain Syarh Qarratu ‘Ain, Al-’Allamah Al-’Alim Al-Fadil Asy-Syekh An-Nawawi Ats-Tsaniy (Sayyid Ulama Hijaz) ;

أما التلفظ بالمنوي فسنة ليساعد اللسان القلب
“adapun melafadzkan niat maka itu sunna supaya lisan dapat membantu hati”

Kitab Faidlul Haja ‘alaa Nailur

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
الحمد لله رب العالمين اللهم صل على محمد وعلى آل محمد وسلم أشهد أن لا إله إلا الله وأشهد أن محمدا رسول الله أما بعد
Begitu banyak tulisan yang menjelaskan masalah ini. Bermacam-macam pula cara mereka menyampaikannya. Ada yang menyampaikannya dari dua sisi, baik dari sisi ulama yang mengatakan bahwa pahala bacaan al-Qur’an sampai kepada mayyit maupun dari sisi ulama yang mengatakan tidak sampai. Artinya mereka mengakui adanya perbedaan (khilafiyah) yang terjadi dikalangan ulama mengenai masalah tersebut. Maka dari itu, mereka mempersilahkan kepada saudara Muslimnya untuk mengambil (memilih) pendapat yang diyakini untuk diamalkan. Bagi yang menyakini bahwa pahala bacaan Al-Qur’an sampai kepada mayyit, silahkan diamalkan dan bacakan ayat-ayat suci al-Qur’an (kalau perlu mengadakan khatmil Qur’an), yang mana pahalanya diberikan kepada orang tua, kakek-nenek, atau sanak keluarga lainnya, temannya dan saudara Muslim lainnya yang sudah wafat mendahului. Namun, bagi yang tidak menyakini (memilih pendapat) bahwa pahala bacaan al-Qur’an tidak akan sampai kepada mayyit, maka silahkan amalkan dan tidak perlu membacakan al-Qur’an (mengkhatamkan al-Qur’an) yang pahalanya diberikan kepada orang tuanya, sanak keluarga atau lainnya yang wafat mendahuluinya. Tidak perlu melakukan hal yang demikian, cukup untuk dirinya sendiri.
Ada juga menyampaikannya hanya dari satu sisi, yang menurut mereka yakini saja, seakan-akan apa yang mereka sampaikan adalah hanya itu yang benar dan yang lain salah. Sehingga ketika mereka mengambil pendapat bahwa pahala bacaan al-Qur’an tidak sampai kepada mayyit/mayat, maka alasan-alasan yang mereka kemukakan hanya persoalan itu saja dan menafikan yang berlainan dengan apa yang mereka yakini bahkan menganggap yang lainnya salah. Atau sebaliknya. Mereka cenderung tidak menerima adanya khilafiyah.
Kami lebih memilih untuk berusaha bersikap seperti yang pertama walaupun mungkin saja akan lebih memihak salah satunya, sebab penulis menyakini bahwa pahala bacaan al-Qur’an sampai mayyit. Dan silahkan “bagi yang menyakini sampai” agar diamalkan dan mari kita bacakan ayat-ayat suci al-Qur’an yang pahalanya diberikan (diniatkan) kepada keluarga kita yang telah wafat mendahului kita atau Muslim lainnya. Namun, bagi yang memilih pendapat pahala bacaan al-Qur’an tidak akan sampai, kami persilahkan mengamalkannya. Kami menghargai pendapat atau apa yang kalian yakini. Maka dari itu, hentikan tuduhan penyesatan dan tuduhan bid’ah yang sejatinya bersumber dari keangkuhan/kecongkaan itu.
Dalam hal ini, penulis ingin mencoba mengulas mengenai apa (pendapat) yang ada didalam madzhab Syafi’iyyah dan tidak menutup kemungkinan akan menyinggung qoul-qoul dari madzhab lainnya.
Sebelumnya, kami { AHLUS SUNNAH WEL JEMAAH } sangat menyayangkan, adanya segelintir orang yang ternyata tidak bermadzhab namun mengatas-namakan madzhab Syafi’iyyah, kemudian tidak segan-segan berbohong atas nama madzhab Syafi’iyyah serta menohok kalangan umat Islam yang bermadzhab Syafi’iyyah, termasuk dalam masalah sampai atau tidaknya pahala bacaan al-Qur’an kepada mayyit ini.
Salah satu factor inilah yang mendorong penulis untuk mencoba menguraikan (mencari keterangan) sendiri, sebab jangan sampai kita menelan mentah-mentah apa yang disampaikan segelintir golongan yang tidak bermadzhab tanpa mengeceknya atau menanyakannya pada guru/ustadz/kiayi yang paham mengenai masalah tersebut. Al-Qur’an telah mengajarkan kepada kita sebagai berikut (QS. Al-Hujuraat 49 : 6),

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوا أَن تُصِيبُوا قَوْماً بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”
Ketahuilah, didalam madzhab Syafi’iyyah memang terdapat khilafiyah mengenai masalah tersebut yaitu dalam hal sampai atau tidaknya pahala bacaan al-Qur’an kepada mayyit. Jadi, jika ada yang berkata bahwa ulama madzhab Syafi’iyyah sepakat mengatakan “tidak sampai”, adalah keliru dan bohong. Juga perlu diketahui dalam hal do’a dan shadaqah, ulama sepakat bahwa keduanya sampai kepada mayyit baik dari ahli waris maupun yang lainnnya. Dalam hal ini (shadaqah dan do’a), sekilas penulis akan mengutip perkataan ulama sebagai berikut ;
Sebagaimana yang dijelaskan didalam kitab Fathul Wahab (2/32), karangan Al-Imam Zakariyya Al-Anshariy, Penerbit Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, Beirut – Lebanon ;


( وينفعه ) أي الميت من وارث وغيره ( صدقة ودعاء ) بالإجماع وغيره
وأما قوله تعالى { وأن ليس للإنسان إلا ما سعى } فعام مخصوص بذلك
“dan bermanfaat baginya yaitu bagi mayyit (yang berasal) dari ahli waris atau lainnya (berupa) shadaqah dan do’a berdasarkan Ijma’ dan lainnya. Dan adapun firman Allah (..) maka ini adalah ‘amun Makhshush dengan hal itu”.
وقيل منسوخ وكما ينتفع الميت بذلك ينتفع به المتصدق والداعي
“dan dikatakan manshukh, dan sebagaimana sesuatu bermanfaat bagi mayyit seperti itu juga manfaat shadaqah dan do’a bagi mayyit”.
Didalam I’anatuth Thalibin (إعانة الطالبين) Asy-Syekh As-Sayyid Abu Bakr Ibnu As-Sayyid Muhammad Syatha Ad-Dimyathiy (أبي بكر ابن السيد محمد شطا الدمياطي), Juz 3, Halaman 257;

(قوله: وتنفع ميتا الخ) جرت عادة الفقهاء يذكرون هذه المسألة في باب الوصية، ولها ارتباط به، إذ الوصية صدقة معلقة بالموت، كما يؤخذ من حدها المار. (قوله: من وارث وغيره) متعلق بمحذوف حال مما بعده، أي حال كون الصدقة أو الدعاء كائنين من وارث وغيره، وهو تعميم فيه (قوله: صدقة عنه) أي عن الميت، سواء كان المتصدق هو في حياته أو غيره، فقوله الآتي منه في حياته أو من غيره عنه بعد موته راجع لهذا وما بعده. اه. رشيدي (قوله: ومنها) أي الصدقة. (وقوله وقف لمصحف) أي عن الميت. (وقوله وغيره) بالجر عطف على مصحف، أو وقف لغير المصحف كدار (قوله: وبناء مسجد 0627لخ) أي وإجراء نهر وبيت بناه للغريب ليأوي فيه، أو بناه للذكر، وقد تقدم، في باب الوقف، بيان العشرة التي يبقى ثوابها له بعد موته، ولا ينقطع منها ما ذكر ومنها ما هو غير صدقة، كدعاء ولد له، وكعلم ينتفع به. وقد تقدم هناك أيضا نظمها للجلال السيوطي، ولا بأس بإعادته هنا وهو هذا: إذا مات ابن آدم ليس يجري عليه من خصال غير عشر علوم بثها ودعاء نجل وغرس لنخل والصدقات تجري وراثة مصحف ورباط ثغر وحفر البئر أو إجراء نهر وبيت للغريب بناه يأوي إليه أو بناء محل ذكر وتعليم لقرآن كريم فخدها من أحاديث بحصر (قوله: منه في حياته الخ) متعلق بمحذوف صفة لصدقة ولما بعدها من قوله وقف وبناء وحفر وغرس، أو حال منها كلها، أي الصادارت منه حال كونه حيا، أو حال كونها صادرة منه في حال كونه حيا. وقوله أو من غيره، معطوف على منه، أي أو الصادرات من غيره. وقوله عنه، متعلق بمحذوف حال من متعلق الجار والمجرور: أي حال كون هذه الامور الصادرة من غيره مجعولة عنه. والمراد أن من صدرت منه جعل ثوابها لذلك الميت. وقوله بعد موته، متعلق بما تعلق به الجار والمجرور، أي الصادرات بعد موته (قوله: ودعاء) معطوف على صدقة، أي وينفعه أيضا دعاء له من وارث وغيره، ولو أخر قوله أولا من وراث وغيره عنه لكان أولى. (قوله: إجماعا) دليل لكل من الصدقة ومن الدعاء
(baca dalam tanda kurung) “Dan bermanfaat kepada mayyit (yang berasal) dari ahli waris atau lainnya (selain ahli waris) yaitu shadaqah darinya. Dan diantaranya (contohnya) yaitu mewaqafkan mushhaf (al-Qur’an) atau yang lainnya dan membangun masjid pada masa dia (masih) hidup atau yang lainnya (orang lain). Dan do’a (juga bisa bermanfaat kepada mayyit). Ini merupakan Ijma’ (kesepakatan Ulama’)”.
Didalam kitab Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim (المنهاج شرح صحيح مسلم بن الحجاج), Karangan Hujjatul Islam Al-Imam Asy-Syeikh An-Nawawi Juz 1 Hal 89-90, Cet. II/1392, Penerbit Dar Ihya’ At-Turats Al-Arabiy, Beirut – Lebanon ;

من أراد بر والديه فليتصدق عنهما فان الصدقة تصل إلى الميت وينتفع بها بلا خلاف بين المسلمين وهذا هو الصواب وأما ما حكاه أقضى القضاة أبو الحسن الماوردى البصرى الفقيه الشافعى فى كتابه الحاوى عن بعض أصحاب الكلام من أن الميت لا يلحقه بعد موته ثواب فهو مذهب باطل قطعا وخطأ بين مخالف لنصوص الكتاب والسنة واجماع الامة فلا التفات إليه ولا تعريج عليه وأما الصلاة والصوم فمذهب الشافعى وجماهير العلماء أنه لا يصل ثوابهما إلى الميت الا اذا كان الصوم واجبا على الميت فقضاه عنه وليه أو من أذن له الولي فان فيه قولين للشافعى أشهرهما عنه أنه لا يصح وأصحهما عند محققى متأخرى أصحابه أنه يصح وستأتى المسألة فى كتاب الصيام ان شاء الله تعالى
“Barangsiapa yang ingin berbuat baik kepada orang tuanya maka ia bershadaqahkan untuk mereka berdua. Sesungguhnya (pahala) shadaqah sampai kepada mayyit dan bermanfaat baginya tanpa ada khilaf diantara kaum Muslimin. Inilah pendapat yang terbaik. Dan adapun mengenai apa yang diceritakan Qadhi para qadhi Abul Hasan Al-Mawardiy Al-Bashariy Al-Faqihi Asy-Syafi’i dalam kitabnya “Al-Hawi” mengenai sebagian dari ahli bicara bahwa sesungguhnya mayyit tidak bisa menerima pahala setelah kematiannya, maka pemahaman (madzhab) ini bathil secara jelas dan kesalahan diantara mereka telah menyelisihi nas-nas Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’ umat ini, maka tidak ada mufakat dengan mereka (tidak perlu ditolerir) dan tidak perlu dipedulikan. Adapun mengenai shalat dan puasa, maka bagi Madzhab Asy-Syafi’i dan jumhur Ulama menyatakan bahwa sesungguhnya pahalanya tidak sampai kepada mayyit kecuali bila shalat yang memang wajib (bagi mayyit). Maka (boleh) diqadha’ oleh walinya atau orang (lain) yang diizinkan oleh walinya, sesungguhnya dalam hal ini ada dua qaul (pendapat) didalam madzhab Asy-Syafi’I yang lebih masyhur (menyatakan) hal ini tidak bisa dan pendapat yang lebih shahih menurut muhaqqiq mutaakhir madzhab Asy-Syafi’i itu sesungguhnya bisa dan nanti akan ku perjelas masalah ini dalam kitab (bab) Puasa, InsyaAllah ta’alaa”.
Dijelaskan kembali dalam kitab yang sama (Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim), pada Juz 7 hal. 90 , Cet. II/1392, Penerbit Dar Ihya’ At-Turats Al-Arabiy, Beirut – Lebanon ;

أن الصدقة عن الميت تنفع الميت ويصله ثوابها وهو كذلك باجماع العلماء وكذا أجمعوا على وصول الدعاء وقضاء الدين بالنصوص الواردة في الجميع ويصح الحج عن الميت اذا كان حج الاسلام وكذا اذا وصى بحج التطوع على الأصح عندنا واختلف العلماء في الصوم اذا مات وعليه صوم فالراجح جوازه عنه للأحاديث الصحيحة فيه والمشهور في مذهبنا أن قراءة القرآن لا يصله ثوابها وقال جماعة من أصحابنا يصله ثوابها وبه قال أحمد بن حنبل
“Sesungguhnya shadaqah dari mayyit (yang dikirim kepada mayyit) bermanfaat bagi mayyit dan pahalanya sampai kepadanya dan yang demikian itu merupakan Ijma Ulama, dan demikian juga mereka ber-Ijma’ atas sampainya doa, membayar hutang (untuk mayyit) berdasarkan nash-nash yang telah meriwayatkannya masing-masing, dan (juga) sah juga berhaji untuk mayyit jika haji Islam, demikian juga bila ia berwasiat (untuk dihajikan) dengan haji tathawwu (haji sunnah), bagi kami (bagi madzhab Asy-Syafi’i) itu shahih dan ulama berbeda pendapat mengenai puasa jika mati dan masih memiliki tanggungan puasa, maka yang lebih rajih (benar) yang memperbolehkannya sebagimana hadits-hadits shahih. Dan yang masyhur didalam madzhab kami (Asy-Syafi’i) bahwa sesungguhnya pembacaan (al-Qur’an) pahalanya tidak sampai, dan jama’ah dari Ashhab kami (ulama madzhab Syafi’iyyah lainnya) menyatakan pahalanya sampai dan yang demikian juga dipegang oleh Imam Ahmad bin Hanbal”.
Dalam hadits riwayat Imam Muslim No. 1004 dituliskan,

وحدثنا محمد بن عبدالله بن نمير حدثنا محمد بن بشر حدثنا هشام عن أبيه عن عائشة أن رجلا أتى النبي صلى الله عليه و سلم فقال يا رسول الله إن أمي افتلتت نفسها ولم توص وأظنها لو تكلمت تصدقت أفلها أجر إن تصدقت عنها ؟ قال نعم
“Bahwa sesungguhnya seorang laki-laki datang kepada Rasulullah dan berkata, ya Rasulullah…, sungguh Ibuku meninggal tiba-tiba dan tanpa sempat berwasiat, aku mengira seandainya ia sempat berbicara niscaya ia akan bershadaqah, bolehkan aku bershadaqah yang pahalanya atasnya ? (Rasulullah) menjawab ; na’am” [Hadits Shahih Muslim No. 1004, penerbit Dar Ihya’ At-Turats Al-Arabiy, Beirut - Lebanon]
Mengenai hadits diatas Hujjatul Islam Al-Imam Nawawi menjelaskan dalam Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim sebagai berikut,

وفي هذا الحديث أن الصدقة عن الميت تنفع الميت ويصله ثوابها وهو كذلك باجماع العلماء وكذا أجمعوا على وصول الدعاء
“dan didalam hadits ini, bahwa sesungguhnya shadaqah (yang dikirim) kepada mayyit bermanfaat untuk mayyit dan pahalanya sampai kepada mayyit, dan yang demikian itu adalah Ijma’ ulama’, sebagaimana juga Ijma’ (ulama) atas sampainya do’a (kepada mayyit)”
Al-Imam Al-Mufti Al-Muhaddits Al-Hafidz ‘Imaduddin Ismail bin Umar bin Katsir atau lebih dikenal dengan Al-Imam Ibnu Katsir dalam kitab Tafsirnya (7/465), penerbit Dar Thayyibah, Mekkah Al-Mukarramah, cet. II/1420 H, berpendapat bahwa pahala bacaan Al-Qur’an tidak sampai dengan beralasan bukan dari pekerjaannya sendiri dan bukan dari usahanya sendiri (لأنه ليس من عملهم ولا كسبهم) namun mengenai do’a dan shadaqah ulama telah sepakat ;


وَأَنْ لَيْسَ لِلإنْسَانِ إِلا مَا سَعَى } أي : كما لا يحمل عليه وزر غيره ، كذلك لا يحصل من الأجر إلا ما كسب هو لنفسه. ومن وهذه الآية الكريمة استنبط الشافعي ، رحمه الله ، ومن اتبعه أن القراءة لا يصل إهداء ثوابها إلى الموتى ؛ لأنه ليس من عملهم ولا كسبهم
“{dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya sendiri” } maksudnya sebagaimana dosa seseorang tidak bisa sampai (menimpa) orang lain, demikian juga (manusia) tidak dapat memperoleh pahala melainkan apa yang diusahkannya oleh dirinya sendiri, dan ayat yang mulya ini Imam Syafi’Ii (رحمه الله) dan (ulama) yang mengikutinya (menyatakan) bahwa sesungguhnya pahala pembacaan (Al-Qur’an) yang dikirim kepada mayyit tidak sampai, karena sesungguhnya bukan dari perkerjaannya sendiri dan bukan dari usahanya mereka sendiri.
ولهذا لم يندب إليه رسول الله صلى الله عليه وسلم أمته ولا حثهم عليه ، ولا أرشدهم إليه بنص ولا إيماء ، ولم ينقل ذلك عن أحد من الصحابة ، رضي الله عنهم ، ولو كان خيرا لسبقونا إليه ، وباب القربات يقتصر فيه على النصوص ، ولا يتصرف فيه بأنواع الأقيسة والآراء ، فأما الدعاء والصدقة فذاك مجمع على وصولهما ، ومنصوص من الشارع عليهما
“Dan oleh karena inilah Rasulullah (صلى الله عليه وسلم) tidak pernah menganjurkan umatnya untuk mengamalkannya, tidak pernah mendorongnya, dan tidak pernah memberikan bimbingan baik dengan nash maupun isyarat, dan tidak ada seorang sahabat pun yang membicarakan hal tersebut, jika seandainya itu baik niscaya mereka lebih dahulu melakukannya, padahal amalan untuk mendekatkan diri (kepada Allah) hanya terbatas pada nash-nash (al-Qur’an dan as-Sunnah), dan tidak boleh dipalingkan dari dengan berbagai macam Qiyas dan pendapat-pendapat. Adapun (mengenai) do’a dan shadaqah maka hal itu telah sepakat (ulama) atas sampainya dan telah ada nash-nash dari syariat (yang menjelaskan) atasnya”.
Didalam kitab Mughniy Muhtaj Ilaa Ma’rifati Ma’aniy Alfaadz Al-Minhaj (مغني المحتاج إلى معرفة معاني ألفاظ المنهاج), Al‐Imam Syamsuddin Muhammad bin Muhammad Al‐Khatib Asy‐Syarbainiy (3/69), penerbit Darul Fikr –Beirut, Lebanon ;

( وتنفع الميت صدقة ) عنه ووقف وبناء مسجد وحفر بئر ونحو ذلك ( ودعاء ) له ( من وارث وأجنبي ) كما ينفعه ما فعله من ذلك في حياته وللإجماع والأخبار الصحيحة في بعضها كخبر إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث صدقة جارية أو علم ينتفع به أو ولد صالح يدعو له وخبر سعد بن عبادة قال يا رسول الله إن أمي ماتت أفأتصدق عنها قال نعم
“dan shadaqah bermanfaat bagi mayyit, dan (juga) mewaqafkan, membangun masjid, membuat sumur dan semisal yang demikian. Dan do’a (bermanfaat) bagi mayyit baik dari ahli waris maupun yang lainnya sebagaimana bermanfaatnya apa yang diperbuatnya pada masa hidupnya, berdasarkan Ijma dan khabar (hadits) shahih..
Jadi, dalam hal do’a dan shadaqah ijma’ telah sepakat bahwa semua itu akan sampai kepada mayyit baik yang berasal dari ahli waris maupun dari yang lainnnya.
Sebagaimana sempat disinggung pada kutipan kalimat diatas, bahwa ulama berbeda pendapat (terdapat khilafiyah) dalam hal “sampai atau tidaknya pahala” pembacaan Al-Qur’an bagi mayyit, telah disebutkan sebelumnya dalam Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim, pada Juz 7 hal. 90 , Cet. II/1392, Penerbit Dar Ihya’ At-Turats Al-Arabiy, Beirut – Lebanon ;

والمشهور في مذهبنا أن قراءة القرآن لا يصله ثوابها وقال جماعة من أصحابنا يصله ثوابها وبه قال أحمد بن حنبل
“Dan yang masyhur didalam madzhab kami (Asy-Syafi’i) bahwa sesungguhnya pembacaan (al-Qur’an) pahalanya tidak sampai, dan jama’ah dari Ashhabinaa (ulama madzhab Syafi’iyyah lainnya) menyatakan pahalanya sampai dan yang demikian juga pendapat yang dipegang oleh Imam Ahmad bin Hanbal”.
Jadi, didalam madzhab Syafi’iyyah ada pendapat/qoul masyhur yang berpendapat bahwa pahala bacaan Al-Qur’an tidak sampai kepada mayyit dan ada juga pendapat dari ulama madzhab Syafi’iyyah lainnya yang mengatakan (berpendapat) bahwa pahala bacaan Al-Qur’an sampai kepada mayyit, dimana pendapat yang mengatakan sampai ini juga dipegang oleh Al-Imam Ahmad bin Hanbal.
Selanjutnya, 2 qoul (pendapat) tersebut ; qoul (pendapat) yang mengatakan “tidak sampai” dinamakan qoul Masyhur dari kalangan ulama Madzhab Syafi’iyah dan pendapat (qoul) yang mengatakan “sampai” dinamakan qoul Mukhtar (pendapat yang telah dipilih) dari kalangan ulama madzhab Syafi’iyyah.
Dijelaskan juga didalam kitab Al-Adzkar, Hujjatul Islam Al-Imam An-Nawawi Rahimahullah, tentang kesepakatan (Ijma’ Ulama) mengenai sampainya do’a kepada mayyit dan khilafiyah (perbedaan pendapat dikalangan ulama) perihal pembacaan Al-Qur’an kepada mayyit, dituliskan sebagai berikut ;


“Ulama telah ber-ijma bahwa sesungguhnga do’a bagi mayyit/mayat adalah bermanfaat bagi mereka dan pahalanya sampai kepada mereka. Mereka berhujjah dengan firman Allah Ta’alaa,

وَالَّذِينَ جَاؤُوا مِن بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka , mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami”
dan ayat-ayat lainnya yang sudah masyhur dengan maknanya. Serta hadits-hadits yang masyhur seperti Sabna Nabi,

اللهم اغفر لأهل بقيع الغرقد
“ya Allah berikanlah ampunan kepada ahli pekuburan Baqi’”
dan hadits Nabi,

اللهم اغفر لحينا وميتنا
ya Allah berikanlah ampunan kepada yang hidup dan yang mati diantara kami”
dan hadits-hadits lainnya.
Kemudian, Ulama berselisih pendapat dalam hal sampainya pahala bacaan al-Qur’an kepada mayyit/mayat. Maka yang masyhur dalam madzhab Syafi’i dan jama’ah bahwa sesungguhnya (pahala bacaan al-Qur’an kepada mayyit) itu tidak sampai. Adapun pendapat Imam Ahmad dan jama’ah ulama lainnya serta jama’ah ulama dari sebagian Ulama Syafi’iyyah berpendapat bahwa itu sampai. Maka yang lebih baik bagi seorang qari (pembaca al-Qur’an) adalah memohon,

اللهم أوصل ثواب ما قرأنا لفلان
“Ya Allah, sampaikanlah pahala apa yang telah kami baca kepada Fulan”
[Kitab Al-Adzkar, Al-Hafidz Hujjatul Islam Al-Imam An-Nawawi Ad-Damasyqiy Asy-Syafi'i Rahimahullah, (Penerbit Dar Al-Masriah Al-Lubnaniah, Cairo - Mesir, hal 222 atau terbitan Al-Hidayah Surabaya - Indonesia, hal. 150)]
Selengkapnya di catatan http://www.facebook.com/note.php?note_id=340764405291 ^__^
Ulama telah sepakat bahwa do’a untuk mayyit bermanfaat dan pahalanya sampai kepada mayyit. Dasarnya firman Allah :
(وَالَّذِينَ جَاؤُوا مِن بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ)
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami” dan ayat-ayat lainnya yang masyhur maknanya. Adapun hadits-hadits yang masyhur, seperti sabda Nabi (صلى الله عليه وسلم) : “Allahumma ighfir li ahli baqi”, dan (juga) : “Allahuma Ighfir lihayyina wa mayyitina”, dan selain dari itu”.
“Dan ulama berbeda pendapat dalam hal sampainya pahala bacaan Al-Qur’an. Maka yang masyhur dari madzhab Asy-Syafi’i dan sejumlah ulama bahwa sesungguhnya tidak sampai. Dan madzhab (Imam) Ahmad bin Hanbal, sejumlah ulama (Hanabilah) serta Ashabu asy-Syafi’i (ulama Syafi’iyyah lainnya) bahwa sesungguhnya sampai. Maka sebaiknya bagi qari’ menghaturkan do’a : “ya.. Allah sampaikanlah pahala bacaan kami kepada Fulan”. [Al-Adzkar, Penerbit Dar Al-Masriah Al-Lubnaniah, hal 222 atau terbitan Al-Hidayah hal. 150] Keterangan (catatan kaki) no. 3 ; Lihat, Nailul Awthar lisy-Syaukaniy 4/92, Ibnu Qayyim fi kitab Ar-ruh hal. 89.
Diatas dijelaskan bahwa qoul Masyhur dari madzhab Syafi’iyyah dan sejumlah ulama berpendapat bahwa (pahala bacaan al-Qur’an) tidak sampai kepada mayyit, sedangkan ulama dari madzhab Syafi’iyyah lainnya (qoul Mukhtar) berpendapat (pahala bacaan al-Qur’an) sampai kepada mayyit, dimana pendapat ini (qoul Mukhtar) juga dipegang oleh Imam Ahmad bin Hanbal serta kalangan ulama Hanabilah. Karena ada dua pendapat tersebut, dituturkan dalam kitab tersebut agar sebaiknya bagi qori (pembaca Al-Qur’an) juga menghaturkan do’a kepada Allah agar pahalanya disampaikan kepada mayyit.
Khilafiyah (perbedaan pendapat) tersebut juga dijelaskan dalam kitab Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim (المنهاج شرح صحيح مسلم بن الحجاج), Hujjatul Islam Al-Imam An-Nawawi Juz 1 Hal 89-90, Cet. II/1392, Penerbit Dar Ihya’ At-Turats Al-Arabiy, Beirut – Libanon :

وأما قراءة القرآن فالمشهور من مذهب الشافعى أنه لا يصل ثوابها إلى الميت وقال بعض أصحابه يصل ثوابها إلى الميت وذهب جماعات من العلماء إلى أنه يصل إلى الميت ثواب جميع العبادات من الصلاة والصوم والقراءة وغير ذلك وفى صحيح البخارى فى باب من مات وعليه نذر أن بن عمر أمر من ماتت أمها وعليها صلاة أن تصلى عنها وحكى صاحب الحاوى عن عطاء بن أبى رباح واسحاق بن راهويه أنهما قالا بجواز الصلاة عن الميت وقال الشيخ أبو سعد عبد الله بن محمد بن هبة الله بن أبى عصرون من أصحابنا المتأخرين فى كتابه الانتصار إلى اختيار هذا
“Dan adapun (mengenai pahala) pembacaan Al-Qur’an. Maka yang Masyhur dari madzhab Asy-Syafi’i bahwa sesungguhnya pahalanya tidak sampai kepada mayyit dan berkata sebagian Ashabina (sahabat kami dari kalangang ulama Syafi’iyyah) bahwa pahalanya sampai kepada mayyit, kebanyakan madzhab ulama mengambil pendapat sampainya pahala kepada mayyit dari semua ibadah, berupa shalat, puasa, pembacaan (Al-Qur’an) dan (ibadah) yang lainnya. Dan didalam Shahih Al-Bukhari pada (باب من مات وعليه نذر) bahwa sesungguhnya Ibnu Umar memerintahkan kepada yang ibunya wafat dan masih memiliki tanggungan Shalat agar membayar (mengqadha) shalatnya. Dan diceritakan oleh “Shahibul Hawi” bahwa ‘Atha bin Abi Ribah bin Ruwayhah bahwa keduanya mengatakan bolehnya shalat dikirim untuk mayyit. Dan berkata Asy-Syekh Abu Sa’id Abdullah bin Muhammad bin Hibatullah bin Abi ‘Ishrun dari kalangan Ashhab kami (ulama-ulama Syafi’iyyah) al-Muta’akhir (pada masa Imam Nawawi) didalam kitabnya Al-Intishar ilaa Ikhtiyar (كتابه الانتصار إلى اختيار) bahwa (memang) seperti ini”
Didalam kitab Mughniy Muhtaj Ilaa Ma’rifati Ma’aniy Alfadzz Al-Minhaj, Al‐Imam Syamsuddin Muhammad bin Muhammad Al‐Khatib Asy‐Syarbainiy, (3/69-70), penerbit Dar Al-Fikr, Beirut – Lebanon, diceritakan tentang Imam Ibnu Abdissalam yang semula mengingkari sampainya pahala bacaan Al-Qur’an kepada mayyit sewaktu beliau masih hidup dalam fatwanya ;

وقال ابن عبد السلام في بعض فتاويه لا يجوز أن يجعل ثواب القراءة للميت لأنه تصرف في الثواب من غير إذن الشارع
وحكى القرطبي في التذكرة أنه رؤي في المنام بعد وفاته فسئل عن ذلك فقال كنت أقول ذلك في الدنيا والآن بان لي أن ثواب القراءة يصل إلى الميت
وحكى المصنف في شرح مسلم والأذكار وجها أن ثواب القراءة يصل إلى الميت كمذهب الأئمة الثلاثة واختاره جماعة من الأصحاب منهم ابن الصلاح والمحب الطبري وابن أبي الدم وصاحب الذخائر وابن أبي عصرون وعليه عمل الناس وما رآه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن
وقال السبكي والذي دل عليه الخبر بالاستنباط أن بعض القرآن إذا قصد به نفع الميت وتخفيف ما هو فيه نفعه
“Imam Ibnu Abdissalam berkata dalam sebagian fatwa-fatwanya, tidak boleh menjadikan pahala bacaan Al-Qur’an kepada mayyit karena sesungguhnya menghadiahkan pahala bagian tidak ada izin asy-Syari’. dan diriwayatkan dari Al-Imam Qurthubi didalam kitab At-Tadzkirah (At-Tadzkirah fi Ahwal al-Mauta wa Umur al-Akhirah) sesungguhnya melihat didalam mimpi setelah wafatnya (Imam Ibnu Abdissalam ), maka bertanya tentang yang demikian, kemudian berkata, aku berkata yang demikian itu (tidak sampai) ketika berada di dunia, dan sekarang sesungguhnya bagiku pahala bacaan Al-Qur’an itu sampai kepada mayyit. “Dan diriwayatkan oleh mushannif didalam Syarah Muslim dan Al-Adzkar, pendapat yang mengatakan sampainya pahala bacaan Al-Qur’an kepada mayyit seperti (pendapat) Madzhab Imam 3 (Hanafiyah, Malikiyah, Hanabilah) dan pendapat ini dipilih oleh jamaah dari para sahabat (ulama-ulama kalangan Syafi’iyyah) diantara mereka Imam Ibnu Shalah, Al-Muhib Ath-Thabariy, Imam Ibnu Abi Dam, sahabat Al-Dzakhair, Imam Ibnu Abi ‘Ishrun dan atasnya amal manusia dan apa yang dipandang baik oleh kaum Muslimin maka disisi Allah juga baik”
“Dan Imam As-Subki berkata, dan yang menunjukkan atasnya yaitu khabar dengan istinbath bahwa sebagian al-Qur’an apabila di niatkan (diqashad) dengannya akan memberi manfaat kepada mayat (mayyit) dan meringankan apa yang ada padanya niscaya bermanfaat (bagi mayyit)”.
Berikut adalah redaksi mengenai Imam Ibnu Abdissalam, disebutkan didalam kitab At-Tadzkirah fi Ahwal al-Mauta wa Umur al-Akhirah -Imam Al-Hafidz Al-Qurthubi, Halaman 17;

لأن الشيخ الفقيه القاضي الإمام مفتي الأنام عبد العزيز بن عبد السلام رحمه الله كان يفتي بأنه لا يصل للميت ثواب ما يقرأ ، و يحتج بقوله تعالى : و أن ليس للإنسان إلا ما سعى ، فلما توفي رحمه الله ، رآه بعض أصحابه ممن كان يجالسه و سأله عن ذلك ، فقال له : إنك كنت تقول : إنه لا يصل إلى الميت ثواب ما يقرأ و يهدي إليه ، فكيف الأمر ؟ فقال له : إني كنت أقول ذلك في دار الدنيا، و الآن فقد رجعت عنه لما رأيت من كرم الله تعالى في ذلك . و أنه يصل إليه ذلك
Dari pemaparan diatas, memang terlihat bahwa khilafiyah (perbedaan pendapat) antara “sampai dan tidaknya” itu ada. Ringkasnya, dalam kalangan ulama Syafi’iyyah ada yang mengatakan tidak sampai (Qoul Masyhur) dan ada yang mengatakan sampai (Qoul Mukhtar), yang mana qoul Mukhtar dari kalangan ulama Syafi’iyyah inilah yang juga dipegang oleh Al-Mujtahid Al-Imam Ahmad bin Hanbal bahkan oleh Aimmah ats-Tsalatsah (Imam 3 yaitu Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah). Imam Ahmad sendiri adalah pengasas madzab Hanabilah.
Dari dua Qoul/pendapat tersebut manakah yang lebih tepat kita ambil atau manakah yang lebih kuat antara qoul Masyhur dan qoul Mukhtar ? Dari pemaparan diatas sebenarnya sudah terlihat jelas bahwa qoul Mukhtar lebih muktamad (kuat) sebab pendapat qoul Mukhtar itu juga di pegang oleh Imam 3 (Aimmmah Ats-Tsalatsah). Namun, mari kita membaca langsung komentar ulama mengenai masalah ini, dijelaskan dalam kitab I’anah Thalibin (إعانة الطالبين) Syekh Al-Bakri Ad-Dimyathiy (البكري الدمياطي), Juz 3, Halaman 260, sebagai berikut ;

. (قوله: لا يصل ثوابها إلى الميت) ضعيف. (وقوله: وقال بعض أصحابنا يصل) معتمد. اه.
“Dan perkataannya ; “pahala bacaan (al-Qur’an) tidak sampai kepada mayyit” adalah dhoif (lemah), dan perkataannya ; “sebagian Ashhab kami (ulama-ulama Syafi’iyyah lainnya) mengatakan sampai” adalah pendapat yang muktamad (kuat)”
(قوله: بمجرد قصده) أي الميت بها: أي بالقراءة. وقوله ولو بعدها، أي ولو وقع القصد بعد القراءة (قوله: وعليه) أي على وصول ثوابها للميت، الائمة الثلاثة، وفي التحفة بعده على اختلاف فيه عن مالك. اه. (قوله: واختاره) أي اختار القول بوصول ثواب القراءة للميث كثيرون من أئمتنا، ولا حاجة إلى هذا بعد قوله وقال بعض أصحابنا الخ. وفي التحفة الاقتصار على الثاني، ولم يذكر الاول، أعني قوله وقال بعض أصحابنا ونصها، وفي القراءة وجه، وهو مذهب الائمة الثلاثة، واختاره كثيرون من أئمتنا الخ. وفي فتح الجواد: الاقتصار على الاول، وعبارته، وقال بعض أصحابنا يصل ثوابها للميت مطلقا، واعتمده السبكي وغيره وبين أن الذي دل عليه الخبر بالاستنباط أن بعض القرآن إذا قصد به نفع الميت نفعه، على أن جماعات من العلماء ذهبوا إلى أنه يصل إليه ثواب جميع العبادات من صلاة، وصوم، وقراءة، وغيرها.
“perkataannya, dengan diniatkan/memaksudkan (diqashad) maksudnya pembacaan diniatkan untuk mayyit walaupun diniatkannya setelah pembacaan Al-Qur’an, dan atas sampainya pahala kepada mayyit dipegang oleh Imam 3, dan didalam At-Tuhfat, (diqashadkan) setelahnya terdapat khilaf dari Imam Malik. Dan banyak ulama kami (ulama Madzhab Syafi’iyyah) memilih (berpegang) pada qoul yang menyatakan sampainya pahala bacaan Al-Qur’an kepada mayyit, dan tidak butuh kepada yang ini setelah adanya perkataan “qaala Ashhab kami (ulama-ulama Syafi’iyyah)”. Didalam At-Tuhfat hanya atas yang kedua dan tidak disebutkan yang pertama, maksudku perkataan “qaala ba’du ashabina” dalam pembacaan al-Qur’an adalah dipegang Madzab Imam 3, dan pendapat ini telah dipilih oleh kebanyakan ulama kami (ulama-ulama Syafi’iyyah). Dan didalam Fathul Jawad hanya atas yang pertama dan ibaratnya, sebagian ashhab kami (ulama-ulama syafi’iyyah lainnya) mengatakan sampai pahalanya kepada mayyit secara mutlak. Dan Al-Imam As-Subki menguatkan (pendapat yang sampai) dan juga ulama lainnya dan yang menunjukkan atasnya yaitu khabar dengan istinbath bahwa sebagian al-Qur’an apabila di niatkan (diqashad) dengannya akan memberi manfaat kepada mayat (mayyit) , atasnya seluruh ulama berpegang pada sampainya pahala kepada mayyit dari semua ibadah seperti shalat, puasa, pembacaan al-Qur’an dan yang lainnya”.
Jadi, sangat jelas bahwa pendapat yang muktamad (kuat) adalah yang menyatakan bahwa pahala bacaan al-Qur’an sampai kepada mayyit.
Kemudian, bagaimanakah sebenarnya yang dimaksud “tidak sampai” oleh qoul/pendapat masyhur dalam madzhab Syafi’iyyah ? Benarkah qoul masyhur secara mutlak menyatakan tidak sampai pahala bacaaan al-Qur’an kepada mayyit ?
Penjelasannya sebagai berikut, disebutkan didalam kitab Fathul Wahab (2/32), karangan Al-Imam Zakariyya Al-Anshariy, Penerbit Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, Beirut – Lebanon ;

أما القراءة فقال النووي في شرح مسلم المشهور من مذهب الشافعي أنه لا يصل ثوابها إلى الميت
“adapun pembacaan (al-Qur’an), berkata Imam Nawawi didalam syarah shahih Muslim , sebagian dari madzhab asy-Syafi’i bahwa sesungguhnya (bacaan al-Qur’an) pahalanya tidak sampai kepada mayyit”
وقال بعض أصحابنا يصل وذهب جماعات من العلماء إلى أنه يصل إليه ثواب جميع العبادات من صلاة وصوم وقراءة وغيرها وما قاله من مشهور المذهب محمول على ما إذا قرأ لا بحضرة الميت ولم ينو ثواب قراءته له أو نواه ولم يدع
dan berkata kalangan Ashhab kami (ulama-ulama Syafi’iyyah lainnya) bahwa sampai (pahala bacaan al-Qur’an) dan para ulama mengikuti (pendapat ini) mengenai sampainya kepada mayyit pahala semua ibadah seperti shalat, puasa, pembacaan (al-Qur’an) dan yang lainnya. Dan perihal qoul yang Masyhur dibawa atas pengertian, (tidak sampai) jika pembacaan (al-Qur’an) tidak dihadapan mayyit dan tidak diniatkan (pula) pahalanya pembacaannya untuk mayyit atau meniatkannya dan juga tidak mendo’akannya.
بل قال السبكي الذي دل عليه الخبر بالاستنباط أن بعض القرآن إذا قصد به نفع الميت نفعه وبين ذلك وقد ذكرته في شرح الروض
“bahkan Imam As-Subki berkata, yang menunjukkan atasnya yaitu khabar dengan istinbath bahwa sebagian al-Qur’an apabila di niatkan (diqashad) dengannya akan memberi manfaat kepada mayat (mayyit) dan diantara yang demikian itu, sungguh telah dituturkan dalam Syarah Ar-Raudlah”
Jadi, qoul masyhur dari kalangan ulama Syafi’iyyah sebenarnya menyatakan tidak sampai apabila tidak dibaca dihadapan mayat /ahli kubur, tidak meniatkannya pahalanya untuk mayat dan juga tidak mendo’akan agar pahalanya disampaikan kepada mayat. Hal ini bisa kita pahami dengan membaca pendapat-pendapat ulama-ulama sebagai berikut,
Didalam kitab Mughniy Muhtaj Ilaa Ma’rifati Ma’aniy Alfaadz Al-Minhaj (مغني المحتاج إلى معرفة معاني ألفاظ المنهاج), Al‐Imam Syamsuddin Muhammad bin Muhammad Al‐Khatib Asy‐Syarbainiy (3/70), penerbit Darul Fikr –Beirut, Lebanon ;

وقد جوز القاضي حسين الاستئجار على قراءة القرآن عند الميت وقال ابن الصلاح وينبغي أن يقول اللهم أوصل ثواب ما قرأنا لفلان فيجعله دعاءه ولا يختلف في ذلك القريب والبعيد وينبغي الجزم بنفع هذا لأنه إذا نفع الدعاء وجاز بما ليس للداعي فلأن يجوز بماله أولى وهذا لا يختص بالقراءة بل يجري في سائر الأعمال
“Dan sungguh Al-Qadli Husein telah memperbolehkan membayar atas pembacaan Al-Qur’an disisi mayyit dan berkata Ibnu Shalah dan seyogyanya (orang yang membaca al-Qur’an itu) mengatakan (berdo’a),

اللهم أوصل ثواب ما قرأنا لفلان
“Ya Allah, sampaikanlah pahala apa yang telah kami baca kepada Fulan”
“Maka menjadikannya sebagai do’anya, dan tidak ada khilaf pada yang demikian itu baik dekat ataupun jauh, dan sepatutnya menyakini dengan manfaat ini, karena sesungguhnya apabila do’a bermanfaat dan diperbolehkan dengan yang lainnya bagi seseorang maka kebolehan dengan perkara tersebut lebih utama, dan ini tidak hanya khusus dengan pembacaan al-Qur’an bahkan juga pembayaran untuk seluruh amal”.
Didalam kitab Fathul Mu’in bisyarhi Qurratu ‘Ain, al-‘Alim al-‘Allamah asy-Syaikh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibariy, hal.48, Cet. Al-Hidayah Surabaya, dituliskan sebagai berikut ;

(و) يندب (زيارة قبور لرجل) لا لانثى، فتكره لها. نعم، يسن لها زيارة قبر النبي (ص). قال بعضهم: وكذا سائر الانبياء، والعلماء، والاولياء. ويسن – كما نص عليه – أن يقرأ من القرآن ما تيسر على القبر، فيدعو له مستقبلا للقبلة. (وسلام) لزائر على أهل المقبرة عموما، ثم خصوصا، فيقول: السلام عليكم دار قوم مؤمنين – عند أول المقبرة -. ويقول عند قبر أبيه – مثلا -: السلام عليك يا والدي. فإن أراد الاقتصار على أحدهما أتى بالثانية، لانه أخص بمقصوده، وذلك لخبر مسلم: أنه (ص) قال: السلام عليكم دار قوم مؤمنين، وإنا إن شاء الله بكم لاحقون. والاستثناء للتبرك، أو للدفن بتلك البقعة، أو للموت على الاسلام. (فائدة) ورد أن من مات يوم الجمعة أو ليلتها أمن من عذاب القبر وفتنته. وورد أيضا: من قرأ قل هو الله أحد، في مرض موته مائة مرة، لم يفتن في قبره، وأمن من ضغطة القبر، وجاوز الصراط على أكف الملائكة. وورد أيضا: من قال: لا إله إلا أنت سبحانك إني كنت من الظالمين – أربعين مرة – في مرضه فمات فيه، أعطي أجر شهيد، وإن برئ برئ مغفورا له
“(Dan) sunnah (ziarah kubur bagi laki-laki) lain halnya dengan wanita. Makruh (ziarah kubur) bagi wanita. Memang, bagi wanita tetap disunnahkan ziarah kubur (makam) Baginda Nabi Muhammad, sebagian ulama menambahkan demikian. Demikian juga berziarah ke makam Nabi-Nabi yang lain, para Ulama dan Auliya (wali-wali Allah). Dan sunnah –sebagaimana yang dijelaskan – yaitu membaca sebagian al-Qur’an yang terasa mudah diatas makam, lalu berdo’a untuknya (di mayat) sambil menghadap kearah Kiblat. Dan (sunnah) mengucapkan salam bagi perziarah kepada ahli kubur secara umum, kemudian khusus (kepada yang dimaksudkan). Yaitu membaca, “السلام عليكم دار قوم مؤمنين” pada saat masuk ke kubur, dan pada saat berada disisi makam ayahnya –semisalnya- membaca “السلام عليك يا والدي”. Apabila ingin mencukupkan salah satunya, maka yang dibaca yang kedua, karena sesungguhnya inilah yang lebih khusus pada tujuannya. Hal itu berdasarkan sebuah khabar (hadits) dari Imam Muslim ‘ sesunggguhnya Nabi berkata ; “

السلام عليكم دار قوم مؤمنين، وإنا إن شاء الله بكم لاحقون
“Semoga keselamatan bagi kalian semua wahai kaum Mu’minin, dan sungguh Insyaallah kami akan menyusul kalian”
“Al-Istina’ (ucapan Insyaallah) disini bertujuan untuk mencari berkah (tabarruk), atau dimakamkan di tempat itu (Insyaallah kami akan dimakamkan di tempat itu-pen) atau mati dalam keadaaan Islam”
Faidah] Disebutkan (dalam sebuah hadits) bahwa sesungguhnya orang mati di hari (malam) Jum’at adalah diselamatkan dari siksa kubur dan fitnah. Dan disebutkan (juga) ; Barangsiapa yang membaca “قل هو الله أحد” (al-Ikhlas) 100 kali ketika sakit yang mengantarkan kepada kematiannya, maka didalam kubur akan diselamatkan dari siksa kubur dan melintasi Shirathal Mustaqim diatas telapak Malaikat. Dan disebutkan juga (dalam hadits) : “barangsiapa yang membaca ; “لا إله إلا أنت سبحانك إني كنت من الظالمين” sebagai 40 kali diwaktu sakit, lalu mati, maka ia akan mendapatkan sebagaimana orang mati syahid. Dan jika ia sembuh (dari sakit) maka dia memperoleh pengampunan”.
Didalam kitab Al-Adzkar, Hujjatul Islam Al-Imam An-Nawawi Rahimahullah ;


Imam Syafi’i dan ulama-ulama lainnya berkata ; “Disunnahkan untuk membacakan sebagian dari al-Qur’an disisinya”. Para Ulama berkata, “Apabila mengkhatamkan al-Qur’an seluruhnya maka itu baik” [Al-Adzkar, Imam Nawawi]

berkata Al-Imam Asy-Syafi’i dan sahabat-sahabatnya : dianjurkan untuk membaca pada sisi mayyit sebagian dari ayat Al-Qur’an,.., Namun, apabila menghatamkan Al-Qur’an semuanya maka itu baik” [Al-Adzkar, cet Dar Al-Masriah Al-Lubnaniah, hal 218 atau cet. toko kitab Al-Hidayah Surabaya hal. 147, pada Bab hal-hal yang diucapkan setelah proses Pemakaman]


Diriwayatkan didalam kitab Sunan Imam Baihaqi dengan isnad hasan bahwa Ibnu Umar menganjurkan untuk membacakan awal surat Al-Baqarah dan mengkhatamkannya diatas kubur setelah pemakaman mayyit” [Al-Adzkar, Imam Nawawi]

“diriwayatkan didalam kitab Sunan Al-Baihaqiy (Sunan Al-Kubra) dengan sanad yang hasan, bahwa sesungguhnya Ibnu Umar menganjurkan membaca al-Qur’an diatas kubur setelah proses pemakaman (dengan) awal surat al-Baqarah dan menghatamkannya” [Al-Adzkar, cet Dar Al-Masriah Al-Lubnaniah, hal 219 atau Al-Hidayah hal. 147]
Didalam kitab Raudlotuth Thalibin (2/139), karangan Al-Hafidz Al-Imam Al-Hujjah Asy-Syeikhul Islam An-Nawawi Ad-Damasyqiy Asy-Syafi’i, terbitan Maktabah Al-Islami, Beirut – Lebanon ;

والسنة أن يقول الزائر سلام عليكم دار قوم مؤمنين وإنا إن شاء الله عن قريب بكم لاحقون اللهم لا تحرمنا أجرهم ولا تفتنا بعدهم وينبغي للزائر أن يدنو من القبر بقدر ما كان يدنو من صاحبه في الحياة لو زاره
وسئل القاضي أبو الطيب عن قراءة القرآن في المقابر فقال الثواب للقارىء ويكون الميت كالحاضر ترجى له الرحمة والبركة فيستحب قراءة القرآن في المقابر لهذا المعنى وأيضا فالدعاء عقيب القراءة أقرب إلى الاجابة والدعاء ينفع الميت
“dan sunnah bagi peziarah (kubur) mengucapkan,

سلام عليكم دار قوم مؤمنين وإنا إن شاء الله عن قريب بكم لاحقون اللهم لا تحرمنا أجرهم ولا تفتنا بعدهم
“salam/keselamatan bagi kalian semuanya kaum Mukminin, dan sungguh kami InsyaAllah dalam waktu dekat akan menyusul kalian, ya Allah jangan cegah kami dari pahala mereka dan jangan beri fitnah kepada kami setelahanya (sepeninggalnya)”
“dan Al-Qadli Abu Ath-Thayyib ditanya tentang pembacaan Al-Qur’an dipekuburan, maka (Abu Thayyib) berkata, bagi pembacanya akan diberi pahala, dan keberadaan mayyit seperti orang yang hadir, diharapkan baginya mendapat rahmat dan berkah, dan disunnahkan membaca al-Qur’an di pekuburan karena makna ini dan juga mengiringi pembacaan Al-Qur’an dengan do’a itu lebih hampir di perkenankan, dan do’a bermanfaat bagi mayyit”
DidalamMughniy Muhtaj Ilaa Ma’rifati Ma’aniy Alfaadz Al-Minhaj (فرع يحصل من الأجر بالصلاة), Al‐Imam Syamsuddin Muhammad bin Muhammad Al‐Khatib Asy‐Syarbainiy , penerbit Dar el-Fikr, Beirut – Lebanon ;

ويقرأ ) عنده من القرآن ما تيسر وهو سنة في المقابر فإن الثواب للحاضرين والميت كحاضر يرجى له الرحمة وفي ثواب القراءة للميت كلام يأتي إن شاء الله تعالى في الوصايا ( ويدعو ) له عقب القراءة رجاء الإجابة لأن الدعاء ينفع الميت وهو عقب القراءة أقرب إلى الإجابة وعند الدعاء يستقبل القبلة وإن قال الخراسانيون باستحباب استقبال وجه الميت
“Dan membaca al-Qur’an yang dirasa mudah disisi kubur mayat adalah sunnah pada pekuburan, maka sungguh pahala bagi orang-orang yang hadir dan mayyit/mayat itu sebagaimana orang yang hadir diharapkan baginya mendapat rahmat, dan pada pahala pembacaan al-Qur’an bagi mayyit terdapat perkataan InsyaAllah didalam alwashaya. Dan mendo’akan mayyit setelah pembacaan al-Qur’an diharapkan untuk di ijabah, karena sungguh do’a bermanfaat bagi mayat dan mengiri pembacaan al-Qur’an lebih dekat untuk di ijabah dan berdo’a hendaknya dengan menghadap qiblat dan meski orang-orang Khurasan berkata, dianjurkan (sebaiknya) mengharap ke wajah mayat”
Al-Imam Muhammad asy-Syarbini al-Khatib, di dalam kitab Al-Iqna’ Fi Halli Alfadz Abi Syuja (1/208), terbitan Dar El-Fikr, Beirut –Lebanon ;

ويندب أن يسلم الزائر لقبور المسلمين مستقبلا وجه الميت قائلا ما علمه صلى الله عليه وسلم إذا خرجوا للمقابر السلام على أهل الدار من المؤمنين والمسلمين وإنا إن شاء الله بكم لاحقون أسأل الله لي ولكم العافية أو السلام عليكم دار قوم مؤمنين وإنا إن شاء الله بكم لاحقون رواهما مسلم وزاد أبو داود اللهم لا تحرمنا أجرهم ولا تفتنا بعدهم لكن بسند ضعيف وقوله إن شاء الله للتبرك ويقرأ عندهم ما تيسر من القرآن فإن الرحمة تنزل في محل القراءة والميت كحاضر ترجى له الرحمة ويدعو له عقب القراءة لأن الدعاء ينفع الميت وهو عقب القراءة أقرب إلى الإجابة
“Dan disunnahkan peziarah memanggil salam bagi kubur kaum Muslimin menghadap wajah mayyit dengan mengatakan sebagaimana yang diajarkan Nabi shallalllahu ‘alayhi wa sallam jika keluar untuk kepekuburan,

السلام على أهل الدار من المؤمنين والمسلمين وإنا إن شاء الله بكم لاحقون أسأل الله لي ولكم العافية
atau dengan lafadz
السلام عليكم دار قوم مؤمنين وإنا إن شاء الله بكم لاحقون
keduanya diriwayatkan oleh Imam Muslim, Imam Abu daud menambahkan,
اللهم لا تحرمنا أجرهم ولا تفتنا بعدهم
tetapi dengan sanad yang dhoif,
“adapun perkataan (إن شاء الله) untuk tabarruk (mengambil berkah). dan membaca disisi ahli kubur apa yang dirasa mudah dari Al-Qur’an, karena sesungguhny rahmat turun pada tempat pembacaan al-Qur’an dan mayat itu sebagaimana orang yang hadir diharapkan baginya mendapat rahmat dan berdo’a bagi ahli kubur setelah pembacaan al-Qur’an karena sesungguhnya do’a bermanfaat bagi mayat dan mengiringinya dengan pembacaan Al-Qur’an adalah lebih dekat kepada di ijabah”.
Al-‘Allamah Asy-Syekh Muhammad Az-Zuhriy Al-Ghamarawiy Asy-Syafi’i, didalam kitab As-Sirajul Wahaj ‘alaa Matan al-Minhaj (1/115), terbitan Dar El-Ma’rifah ;

ويسلم الزائر للقبور ندبا ويقرأ ما تيسر من القرآن ويدعو للميت عقب القراءة ويستقبل عنده القبلة
“dan pemberian salam oleh peziarah ke kubur adalah sunnah, dan membacakan apa yang dirasa mudah dari al-Qur’an serta berdo’a bagi mayyit setelah pembacaan al-Qur’an dan menghadap kiblat disisinya”
Al-Imam Zakariyya Al-Anshariy, didalam kitab Fathul Wahab (1/176), penerbit Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, Beirut – Lebanon ;

( و ) أن ( يقرأ ) من القرآن ما تيسر ( ويدعو ) له بعد توجهه إلى القبلة لأن الدعاء ينفع الميت وهو عقب القراءة أقرب إلى الإجابة
“dan membacakan dari al-Qur’an apa yang dirasa mudah, serta berdo’a bagi mayyit setelah menghadap ke kiblat karena sesungguhnya do’a bermanfaat bagi mayyit dan berdo’a setelah pembacaan al-Qur’an lebih dekat kepada di ijabah (dikabulkan)”
Al-Allamah Al-Fadlil Asy-Syekh An-Nawawi Ats-Tsaniy (Al-Bantaniy) didalam kitab Nihayatuz Zain Syarah Qurratul ‘Ain;

(وسلام) ندباً حالة كون الزائر مستقبلاً وجه القبور قائلاً ما علمه رسول الله لعائشة رضي الله عنها، وهو: «السلام على أهل الدار من المؤمنين والمسلمين ويرحم الله المستقدمين والمستأخرين، وإنا إن شاء الله بكم لاحقون» . أو ما علمه رسول الله لأصحابه وهو: «السلام على أهل الدار من المؤمنين والمسلمين وإنا إن شاء الله بكم لاحقون، أسأل الله لنا ولكم العافية» . رواه مسلم، زاد أبو داود بسند ضعيف: «اللهم لا تحرمنا أجرهم ولا تفتنا بعدهم» . ويقرأ ويدعو عقب قراءته، والدعاء ينفع الميت وهو عقب القراءة أقرب للإجابة
“Dan mengucapkan salam adalah sunnah bagi peziarah kubur menghadapkan ke wajah kubur dengan mengatakan sebagaiman yang diajarkan oleh Rasulullah kepada siti Aisyah, yaitu

السلام على أهل الدار من المؤمنين والمسلمين ويرحم الله المستقدمين والمستأخرين، وإنا إن شاء الله بكم لاحقون
atau sebagaimana yang diajarkan Rasulullah kepada para sahabatnya, yaitu,
السلام على أهل الدار من المؤمنين والمسلمين وإنا إن شاء الله بكم لاحقون، أسأل الله لنا ولكم العافية
“Diriwayatkan oleh Imam Muslim, Imam Abu Daud menambahkan dengan isnad yang dhoif, yaitu
اللهم لا تحرمنا أجرهم ولا تفتنا بعدهم
“Dan membacakan (al-Qur’an) serta mendo’akan mayyit setelah pembacaan al-Qur’an, dan do’a bermanfaat bagi mayat dan do’a yang dilakukan mengiringi (setelah) pembacaan (al-Qur’an) lebih dekat kepada di ijabah”
Dalam baris yang lain pada kitab yang sama,

(ودعاء) قال النووي في الأذكار: أجمع العلماء على أن الدعاء للأموات ينفعهم ويصلهم ثوابه اهـ. روي عن النبـي أنه قال: «ما الميت في قبره إلاّ كالغريق المغوث» بفتح الواو المشددة أي الطالب لأن يغاث «ينتظر دعوة تلحقه من ابنه أو أخيه أو صديق له فإذا لحقته كانت أحبّ إليه من الدنيا وما فيها» وأن هدايا الأحياء للأموات الدعاء والاستغفار. وقالحسين المحلي في كشف اللثام: يحصل ثواب القراءة للميت بمجرد قصده بها وهو مذهب الأئمة الثلاثة، وكذا القراءة بحضرة الميت أو بنية القارىء ثواب قراءته له أو بدعائه له عقب القراءة. ومنه: اللهم أوصل ثواب ما قرأناه إلى فلان، ولو قال بعده: ثم إلى أموات المسلمين اهـ.
“Dan adapun do’a, Imam An-Nawawi berkata didalam Al-Adzkar, ulama telah berijma’ bahwa sesungguhnya do’a untuk orang mati bermanfaat bagi mereka dan pahala sampai bagi kepada mereka. Diriwayatkan dari Nabi, bahwa sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda,

ما الميت في قبره إلاّ كالغريق المغوث
“Tidaklah mayyit di dalam kuburnya kecuali seperti orang yang sedang tenggelam yang memerlukan pertolongan”.
ينتظر دعوة تلحقه من ابنه أو أخيه أو صديق له فإذا لحقته كانت أحبّ إليه من الدنيا وما فيها
“Dia (ahli kubur) menunggu doa yang disampaikan dari anaknya atau saudaranya atau kawannya. Apabila ia mendapati doa, maka hal itu lebih ia sukai dari pada dunia dan seisinya”
“Sesungguhnya hadiah orang-orang yang hidup kepada orang-orang yang mati adalah do’a dan istighfar (memintakan ampunan), dan Husein Al-Mahaliy berkata didalam kitab Kasyf Al-Latsam ; pahala pembacaan al-Qur’an sampai kepada mayyit dengan diniatkan (diqashad) kepadanya dan ini dipegang oleh Madzhab Imam 3 (Hanafi, Maliki, Hanbali) dan sebagaimana pembacaan al-Qur’an dengan kehadiran mayyit atau pembacanya meniatkan pahala bacaan al-Qur’an diberikan kepada mayyit atau dengan cara do’a untuk mayyit setelah pembacaan al-Qur’an, diantaranya doanya seperti ,

اللهم أوصل ثواب ما قرأناه إلى فلان
“Ya Allah sampaikanlah pahala bacaan kami kepada Fulan,..
Dan walaupun sesudahnya berkata (menambahkan),

ثم إلى أموات المسلمين
“kemudian untuk orang Muslim yang mati”
Didalam kitab Al-Fiqh Al-Manhaji ‘alaa Madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i, Asy-Syekh DR. Musthafa Khin,

إذا دخل الزائر المقبرة، ندب له أن يسلم على الموتى قائلاً: ” السلام عليكم دار قوم مؤمنين، وإنا إن شاء الله بكم لاحقون”.( رواه مسلم:249). وليقرأ عندهم ما تيسر من القرآن، فإن الرحمة تنزل حيث يُقرأ القرآن،ثم ليدع لهم عقب القراءة، وليهدِ مثل ثواب تلاوته لأرواحهم، فإن الدعاء مرجو الإِجابة، وإذا استجيب الدعاء استفاد الميت من ثواب القراءة. والله اعلم.
“Apabila perziarah memasuki kekuburan, disunnahkan baginya mengucapkan salah kepada orang yang mati dengan mengatakan,

السلام عليكم دار قوم مؤمنين، وإنا إن شاء الله بكم لاحقون
“Semoga keselamatan bagi kalian semua wahai kaum Mu’minin, dan sungguh kami Insyaallah akan menyusul kalian”
“dan hendaknya membacakan disini kubur itu apa yang dirasa mudah dari Al-Qur’an, sesungguhnya rahmat itu turun dimana saja ada pembacaan Al-Qur’an, kemudian hendakanya mendoa’akan ahli kubur setelah selesai membaca al-Qur’an, hendaknya dihadiahkan pahala tilawah tersebut untuk arwah mereka, maka sesungguhnya do’a diharapkan diijabah (dikabulkan), dan apabila dikabulkan maka do’a akan bisa di ambil faidah oleh mayyit dari pahala pembacaan Al-Qur’an itu, Wallahu’alam.”
Penjelasan-penjelasan lainnya bisa di lihat dengan apa yang disampaikan oleh Al-Imam Al-Hafidz Al-Qurthubiy (ulama Malikiyah pengarang Tafsir Qur’an) didalam kitab beliau, At-Tadzkirah fi Ahwal al-Mauta wa Umur al-Akhirah, Halaman 64 menuturkan ;


قال محمد بن أحمد المروروذي سمعت أحمد بن حنبل رضي الله عنه يقول : إذا دخلتم المقابر فاقرؤوا بفاتحة الكتاب و المعوذتين و قل هو الله أحد و اجعلوا ذلك لأهل المقابر فإنه يصل إليهم
“Berkata Muhammad bin Ahmad Al-Mawardi, aku mendengar Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan, apabila kamu masuk perkuburan maka hendaknya kalian membaca pembukaan Kitab (Al-Fatihah), Mu’awwidatayn (المعوذتين), dan (قل هو الله أحد), serta jadikahlah olehmu semua itu untuk ahli pekuburan maka sesungguhnya itu sampai kepada mereka (ahli qubur)
و قال علي بن موسى الحداد : كنت مع أحمد بن حنبل في جنازة و محمد بن قدامة الجوهري يقرأ . فلما دفنا الميت جاء رجل ضرير يقرأ عند القبر فقال له أحمد : يا هذا إن القراءة على القبر بدعة فلما خرجنا من المقابر قال محمد بن قدامة لأحمد : يا أبا عبد الله : ما تقول في مبشر بن إسماعيل ؟ قال : ثقة . قال : هل كتبت عنه شيئاً ؟ قال : نعم . قال : أخبرني مبشر بن إسماعيل عن عبد الرحمن بن العلاء بن الحجاج عن أبيه أنه أوصى إذا دفن أن يقرأ عند رأسه بفاتحة البقرة و خاتمتها ، و قال :سمعت ابن عمر يوصي بذلك
“Dan berkata Ali bin Musa Al-Hadad, ketika aku bersama dengan Ahmad bin Hanbal menghadiri jenazah dan Muhammad bin Qudamah Al-Jauhariy sedang membaca (Al-Qur’an). Maka ketika mayyit sudah di makamkan, datang seorang laki-laki kurus membaca (Al-Qur’an) disisi kuburan, maka Imam Ahmad berkata kepadanya (laki-laki itu) ; “hai… sesungguhnya membaca (Al-Qur’an) diatas kubur adalah bid’ah”, maka setelah kami keluar dari pekuburan, berkata Ibnu Qudamah kepada Imam Ahmad ; wahai Abu Aba Abdilllah, bagaimana pendapatmu tentang Mubassyar bin Islama’il ? Berkata (Imam Ahmad) ; Tsiqah (orang yang terpercaya)”, berkata (Ibnu Qudamah) ; apakah engkau menulis (meriwayatkan) sesuatu darinya (dari Mubassyar) ? berkata (Imam Ahmad) : Iya, berkata (Ibnu Qudamah) ; telah mengabarkan kepadaku Mubasysyar bin Isma’il dari Abdurrahman bin ‘Ala’ bin Al-Hajjaj dari ayahnya bahwa sungguh dia berwasiat apabila telah dikubur suara dibacakan disisi kepalanya permualaan surat Al-Baqarah dan menghatamkannya, dia berkata ; aku mendengar Ibnu Umar berwasiat demikian,
قال أحمد : فارجع إلى الرجل فقل له يقرأ
“Berkata Imam Ahmad ; maka kembalilah ke laki-laki itu (yang aku larang) dan katakan kepadanya (lanjutkan) membaca (Al-Qur’an)”
قلت : و قد استدل بعض علمائنا على قراءة القرآن على القبر بحديث العسيب الرطب الذي شقه النبي صلى الله عليه و سلم باثنين ثم غرس على هذا واحداً و على هذا واحداً ثم قال : لعله أن يخفف عنهما ما لم يبسا . خرجه البخاري و مسلم
Aku (Imam Qurthubi) berkata ; dan sungguh sebagian ulama kami (ulama Madzhab Malikiyah) telah beristidlal tentang pembacaan Al-Qur’an diatas kubur dengan hadits ; pelepah tamar yang basah yang telah Nabi Shallallahu ‘alayhi wa sallam membagi menjadi dua, kemudian menancapkannya pada (kuburan) ini satu dan satunya pada (kuburan) yang lain, kemudian Nabi bersabda ; “Semoga ia meringankan siksa dari keduanya selama belum kering (masih basah)”, (hadits ini) diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim
و في مسند أبي داود الطيالسي : فوضع على أحدهما نصفاً و على الآخر نصفاً و قال : إنه يهون عليهما ما دام فيهما من بلوتهما شيء ، قالوا : و يستفاد من هذا غرس الأشجار و قراءة القرآن على القبور و إذا خفف عنهم بالأشجار ، فكيف بقراءة الرجل المؤمن القرآن
“Dan didalam Musnad Imam Abu Daud Ath-Thayalisiy ; “Maka Baginda meletakkan atas salah satunya sebagian dan atas yang lainnya sebagian, lalu bersabda ; “sesungguhnya ini akan meringankan siksa mereka berdua selama keduanya masih basah”, berkata (ulama kami) ; “dan bisa diambil faidah dari perbuatan menanam pelepah tamar ini dan pembacaan Al-Qur’an diatas kubur dan jika mereka diringankan sebab pelepah tamar ini, maka bagaimanakah dengan pembacaan Al-Qur’an oleh lelaki mukmin”.
Dalam kitab yang sama yaitu Al-Tadzkirah fi Ahwal al-Mauta wa Umur al-Akhirah, Halaman 65 menuturkan ;

ذكره الثعلبي : قال الشيخ المؤلف رحمه الله : أصا هذا الباب الصدقة التي لا اختلاف فيها فكما يصل للميت ثوابها ، فكذلك تصل قراءة القرآن و الدعاء و الاستغفار إذ كل ذلك صدقة فإن الصدقة لا تختص المال . و قال صلى الله عليه و سلم : و قد سئل عن قصر الصلاة في حالة الأمن فقال : صدقة تصدق الله بها عليكم فاقبلوا صدقته .
“Dituturkan oleh Tsa’labiy ; Asy-Syekh Muallif (pengarang) rahimahullah berkata, pada dasarnya bab shadaqah ini tidak ada khilaf didalamnya sebagaimana pahalanya sampai kepada mayyit maka demikian juga sampai pahala bacaan Al-Qur’an, do’a dan istighfar jika semua itu dianggap shadaqah, maka sesungguhnya shadaqah tidak khusus hanya harta saja” dan Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda : dan sungguh telah ditanya tentang mengqashar shalat pada kondisi yang aman, maka beliau berkata, “itu shadaqah, yang Allah shadaqahkan kepada kalian maka terimalah shadaqahnya”
و قال عليه السلام : يصبح على كل سلامي من أحدكم صدقة فإن كل تسبيحة صدقة ، و كل تلهيلة صدقة ، و كل تكبيرة صدقة ، و كل تحميدة صدقة ، و أمر بالمعروف صدقة ، و نهي عن المنكر صدقة ، و يجزئ عن ذلك ركعتان يركعهما من الضحى ، و لهذا استحب العلماء زيارة القبور تحفة الميت من زائره
“Dan beliau ‘alayhis salam berkata, “hendaklah setiap tulang-tulang kalian bershadaqah , setiap tasybih (subhanallah) adalah shadaqah, setiap tahlil (laa ilaaha illallah) adalah shadaqah, setiap tahmid (alhamdulillah) adalah shadaqah, memerintahkan kepada yang ma’ruf adalah shadaqah, mencegah dari yang mungkar adalah shadaqah, semua yang disebutkan diatas bisa diraih (pahalanya) dengan mengerjakan shalat 2 rakaat yaitu shalat dluhaa. Oleh karena inilah ulama menganjurkan ziarah kubur untuk menghadiahkan kepada mayyit”.
Al-Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah, didalam Kitab Ar-Ruh, hal.5
Al-Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah, didalam Kitab Ar-Ruh, hal.5 ;

وقد ذكر عن جماعة من السلف أنهم أوصوا أن يقرأ عند قبورهم وقت الدفن قال عبد الحق يروى أن عبد الله بن عمر أمر أن يقرأ عند قبره سورة البقرة وممن رأى ذلك المعلى بن عبد الرحمن وكان الامام أحمد ينكر ذلك أولا حيث لم يبلغه فيه أثر ثم رجع عن ذلك
Dan sungguh menuturkan dari jamaah As-Salaf, sesungguhnya mereka telah berwasiat supaya dibacakan (al-Qur’an) pada sisi kuburan mereka dan pada saat di makamkan. Berkata Abdulhaq, diriwayatkan bahwa Abdullah bin Umar memerintahkan supaya dibacakan pada sisi kuburannya surat Al-Baqarah, dan diantara yang meriwayatkan yang demikian adalah Al-Mu’alla bin Abdurrahman, dan Imam Ahmad (pun) menuturkan yang demikian dimana pada awalnya telah mengingkarinya karena belum menemukar dalilnya kemudian (setelah menemukan) merujuk dari yang demikian.
وقال الخلال في الجامع كتاب القراءة عند القبور اخبرنا العباس بن محمد الدورى حدثنا يحيى بن معين حدثنا مبشر الحلبى حدثني عبد الرحمن بن العلاء بن اللجلاج عن أبيه قال قال أبى إذا أنامت فضعنى في اللحد وقل بسم الله وعلى سنة رسول الله وسن على التراب سنا واقرأ عند رأسى بفاتحة البقرة فإنى سمعت عبد الله بن عمر يقول ذلك قال عباس الدورى سألت أحمد بن حنبل قلت تحفظ في القراءة على القبر شيئا فقال لا وسألت يحيى ابن معين فحدثنى بهذا الحديث
Dan berkata Al-Khalal didalam Al-Jami’ Kitab pembacaan (al-Qur’an) disisi kuburan, mengabarkan kepada kami ‘Abbas bin Muhammad Ad-Dauriy, mengabarkan kepadaku Yahyah bin Mu’in, mengabarkan kepadaku Mubasysyar Al-Halabiy, mengabarkan kepadaku Abdurrahman bin al-‘Ala’ dari ayahnya berkata, ayahku berkata, apabila aku mati maka kuburkanlah aku didalam liang lahad, kemudian bacakanlah dengan asma Allah dan atas sunnah Rasululllah, dan ratakanlah (kubur itu) atas tanah dan bacakanlah disisi kepalaku dengan pembukaan surat Al-Baqarah, maka sesungguhnya aku mendengar Abdullahbin Umar mengatakan yang demikian, ‘Abbas Ad-Dauriy berkata, aku bertanya kepada Imam Ahmad bin Hanbal, aku berkata, dia hafal dalam pembacaan Qur’an diatas kubur, maka dia berkata ; tidak, dan aku bertanya kepada Yahya bin Mu’in, maka dia mengabarkan kepadaku dengan hadits ini.
قال الخلال وأخبرني الحسن بن أحمد الوراق حدثنى على بن موسى الحداد وكان صدوقا قال كنت مع أحمد بن حنبل ومحمد بن قدامة الجوهرى في جنازة فلما دفن الميت جلس رجل ضرير يقرأ عند القبر فقال له أحمد يا هذا إن القراءة عند القبر بدعة فلما خرجنا من المقابر قال محمد بن قدامة لأحمد بن حنبل يا أبا عبد الله ما تقول في مبشر الحلبي قال ثقة قال كتبت عنه شيئا قال نعم فأخبرني مبشر عن عبد الرحمن بن العلاء اللجلاج عن أبيه أنه أوصى إذا دفن أن يقرأ عند رأسه بفاتحة البقرة وخاتمتها وقال سمعت ابن عمر يوصي بذلك فقال له أحمد فارجع وقل للرجل يقرأ
“Al-Khalal berkata, mengabarkan kepada ku Al-Hasan bin Ahmad al-Waraq, mengabarkan kepadaku Ali bin Musa Al-Haddad dan dia adalah orang yang benar (terpercaya) berkata, ketika aku bersama dengan Imam Ahmad bin Hanbal dan Muhammad bin Qudamah Al-Jauhariy menghadiri jenazah, maka ketika (jenazah) selesai di kebumikan, seorang laki-laki yang buta duduk membaca (sesuatu) disisi kuburan, maka Imam Ahmad bin berkata kepadanya, hey,..pembacaan ini disisi kuburan adalah bid’ah. Maka ketika kami telah keluar dari pekuburan itu, Muhammad bin Qudamah berkata kepada Imam Ahmad bin Hanbal, wahai Aba Abdullah, apa yang akan kamu katakana (pendapatmu) tentang Mubasysyir al-Halabiy, Imam Ahmad berkata “Tsiqah (terpercaya)”, Ibnu Qudamah berkata, kamu menulis (meriwayatkan) sesuatu darinya ?, Imam Ahmad berkata, “Iya”, maka telah mengabarkan kepadaku Mubasysyir dari Abdurrahman bin al-‘Alaa’ al-Lajlaj dari ayahnya, sesungguhnya telah berwasiat kepadaku, apabila dikuburkan supaya dibacakan disisi kepalanya dengan pembukaan surat Al-Baqarah dan menghatamkannya, dan berkata, aku mendengar Ibnu Umar berwasiat dengan yang demikian itu, maka Imam Ahmad berkata kepadanya, kembalilah dan katakan kepada lelaki itu untuk membaca (melanjutkan membaca al-Qur’an)”

وقال الحسن بن الصباح الزعفراني سألت الشافعي عن القراءة عند القبر فقال لا بأس بها وذكر الخلال عن الشعبي قال كانت الأنصار إذا مات لهم الميت اختلفوا إلى قبره يقرءون عنده القرآن قال وأخبرني أبو يحيى الناقد قال سمعت الحسن بن الجروى يقول مررت على قبر أخت لي فقرأت عندها تبارك لما يذكر فيها فجاءني رجل فقال إنى رأيت أختك في المنام تقول جزى الله أبا على خيرا فقد انتفعت بما قرأ أخبرني الحسن بن الهيثم قال سمعت أبا بكر بن الأطروش ابن بنت أبي نصر بن التمار يقول كان رجل يجيء إلى قبر أمه يوم الجمعة فيقرأ سورة يس فجاء في بعض أيامه فقرأ سورة يس ثم قال اللهم إن كنت قسمت لهذه السورة ثوابا فاجعله في أهل هذه المقابر
Dan al-Hasan bin Shabah Az-Za’faraniy berkata, aku pernah bertanya kepada Al-Imam Syafi’i tentang pembacaan Al-Qur’an disisi kuburan, maka beliau (Imam Syafi’i) berkata, tidak masalah dengan yang demikian itu. Dan Al-Khalal menuturkan dari Asy-Sya’bi berkata, kondisi kaum Anshar ketika diantara mereka ada yang mati selalu meramaikan datang ke kuburnya, mereka semua membaca al-Qur’an disisi kuburnya, (Asy-Sya’bi) berkata, dan mengabarkan kepadaku Abu Yahya An-Naqid berkata, aku mendengar Al-Hasan bin Al-Jarawiy mengatakan, aku mendatangi kubur saudara perempuanku, lalu aku membaca disisinya surat “Tabarak” sebagaimana telah dituturkan padanya. Maka seorang laki-laki datang kepadaku kemudian berkata, sesungguhnya aku melihat saudara perempuanmu didalam mimpi mengatakan, “semoga Allah memberikan balasan kepada Abu Ali (ayah pembaca tersebut) dengan kebaikan, sungguh aku mendapat manfaat yang banyak dengan pembacaan itu”. Asy-Sya’bi berkata, telah mengabarkan kepadaku Al-Hasan bin Al-Haitsam, aku mendengar Abu Bakar Al-Athrusy mengatakan, seorang laki-laki datang kepada kubur ibunya pada hari Jum’at, kemudian dia membaca surat Yasiin, maka datang pada hari-hari yang lain kemudian membaca Yasiin selanjutnya berkata (berdo’a) ;

اللهم إن كنت قسمت لهذه السورة ثوابا فاجعله في أهل هذه المقابر
“Ya.. Allah, jika memang Engkau memberi pahala dengan surat ini, maka jadikanlah pahala itu bagi ahli pekuburan ini”

فلما كان يوم الجمعة التي تليها جاءت امرأة فقالت أنت فلان ابن فلانة قال نعم قالت إن بنتا لي ماتت فرأيتها في النوم جالسة على شفير قبرها فقلت ما أجلسك ها هنا فقالت إن فلان ابن فلانة جاء إلى قبر أمه فقرأ سورة يس وجعل ثوابها لأهل المقابر فأصابنا من روح ذلك أو غفر لنا أو نحو ذلك
Apabila telah tiba hari Jum’at (berikutnya), seorang wanita datang menemuinya kemudian berkata, kamu Fulan bin Fulanah ? Abu Bakar berkata (menjawab), “Iya”, wanita itu berkata (lagi), sesungguhnya puteriku meninggal dunia, aku melihatnya dalam mimpi sedang duduk diatas kuburnya, kemudian aku bertanya kepadanya, kenapa kamu duduk disini ? kemudian dia menjawab, sesungguhnya Fulan bin Fulanah datang ke kubur ibunya seraya membaca surat Yasiin dan menjadikan pahalanya kepada ahli pekuburan, maka kami pun mendapat bagian dari padanya, pengampunan bagi kami dan seumpaman yang demikian itu”.

Asy-Syekh DR. Zuhaili Wahbah, didalam kitab beliau Al-Fiqh Al-Islamiy wa Adillatuhu (2/692), Dar El-Fikr, Suriyah – Damsyiq ;

وبذلك يكون مذهب متأخري الشافعية كمذاهب الأئمة الثلاثة: أن ثواب القراءة يصل إلى الميت، قال السبكي: والذي دل عليه الخبر بالاستنباط أن بعض القرآن إذا قصد به نفع الميت وتخفيف ما هو فيه، نفعه
dan dengan yang demikian itu madzhab mutaakhkhir Syafi’iyyah sebagaimana Madzhab Imam 3, bahwa sesungguhnya pahala bacaan al-Qur’an sampai kepada mayat, Imam As-Subki berkata ; dan yang menunjukkan atasnya yaitu khabar dengan istinbath bahwa sebagian al-Qur’an apabila dimaksudkan/ditujukan (diqashad) dengannya bermanfaat bagi mayyit dan meringankan apa yang ada padanya, bermanfaat baginya.
وقد جوز القاضي حسين الاستئجار على قراءة القرآن عند الميت. قال ابن الصلاح: وينبغي أن يقول: «اللهم أوصل ثواب ما قرأنا لفلان» فيجعله دعاء، ولا يختلف في ذلك القريب والبعيد، وينبغي الجزم بنفع هذا؛ لأنه إذا نفع الدعاء وجاز بما ليس للداعي، فلأن يجوز بما له أولى، وهذا لا يختص بالقراءة، بل يجري في سائر الأعمال
“Dan Al-Qadli Husein membolehkan pembayaran atas pembacaan al-Qur’an disisi mayyit. Imam Ibnu Shalah berkata, sepatutnya mengaturkan do’a,
اللهم أوصل ثواب ما قرأنا لفلان
“ya Allah sampaikan pahala apa yang kami baca kepada Fulan”
“Maka menjadikannya sebagai do’anya, dan tidak ada khilaf pada yang demikian itu baik dekat ataupun jauh, dan sepatutnya menyakini dengan manfaat ini, karena sesungguhnya apabila do’a bermanfaat dan diperbolehkan dengan yang lainnya bagi seseorang maka kebolehan dengan perkara tersebut lebih utama, dan ini tidak hanya khusus dengan pembacaan al-Qur’an bahkan juga pembayaran untuk seluruh amal”.
Demikan isi dokument ini sebagai penjelasan. Dan Masih banyak lagi pendapat ulama yang tentunya tidak bisa dirangkum semunya dalam tulisan ini sebab keterbatasan bacaan.

والله سبحانه وتعالى أعلم
SEMOGA BERMANFAAT

Dalil Dianjurkannya Bertabarruk dengan peninggalan Orang Sholih


Dalil Dianjurkannya Bertabarruk dengan peninggalan Orang Sholih
Bismillah Ar-rahmaan Ar-rahiim.

Tabarruk merupakan salah satu amalan yang sangat lazim diamalkan di kalangan ahlussunnah wal jama’ah. Salah satu bentuk tabarruk adalah bertabarruk dengan peninggalan orang-orang sholih. Dan amalan ini termasuk amalan yang dianjurkan. Permasalahan ini sudah dijelaskan oleh Al-Imaam an-Nawawi rahimahullaah di dalam kitab beliau Shahih Muslim Bi Syarh an-Nawawi ( Shahih Muslim karya al-Imaam Muslim bin al Hajjaj (Imam Ahli hadits), dengan syarahnya karya Imam Yahya bin Syaraf an Nawawi).
Berikut ini adalah dalil yang diambil dari kitab karya al-Imaam an-Nawawi rahimahullah tersebut:

Berikut ini terjemahan yang diberi tanda:
“Dia (Asma’ binti Abi Bakar ash-Shiddiq) mengeluarkan jubah –dengan motif– thayalisi dan kasrawani (semacam jubah kaisar) berkerah sutera yang kedua lobangnya tertutup. Asma’ berkata: “Ini adalah jubah Rasulullah shollallaah ‘alaih wa sallam. Semula ia berada di tangan ‘Aisyah. Ketika ‘Aisyah wafat maka aku mengambilnya. Dahulu jubah ini dipakai Rasulullah shollallaah ‘alaih wa sallam, oleh karenanya kita mencucinya (agar diambil berkahnya) sebagai obat bagi orang-orang yang sakit”. Dalam riwayat lain: “Kita mencuci (mencelupkan)-nya di air dan air tersebut menjadi obat bagi orang yang sakit di antara kita”.
Selanjutnya di dalam men-syarh hadits tersebut, al-imaam an-Nawawi rahimahullah menjelaskan (perhatikan bagian yang diberi tanda):

Dalam menjelaskan riwayat di atas Imam an-Nawawi menuliskan: Dalam riwayat ini terdapat dalil dalam anjuran untuk mencari berkah dengan peninggalan-peninggalan orang-orang saleh dan dengan baju mereka.
Dengan dalil ini, dengan jelas amalan bertabarruk dengan peninggalan orang sholih sudah dicontohkan dan diamalkan oleh para shahabat Rasulullah shollallaah ‘alaih wa sallam, dalam hal ini diamalkan oleh Sayyidatuna Asma’ binti Abu Bakr radhiyallaah ‘anhaa. Bukankah Rasulullah shollallaah ‘alaih wa sallam adalah semulia-mulianya orang sholih? Dan pada riwayat diatas, disebutkan dengan jelas bahwasanya sayyidatunaa Asma’ binti Abu Bakr ash-shiddiq radhiyallaah ‘anhaa berkata: “Ini adalah jubah Rasulullah shollallaah ‘alaih wa sallam. Semula ia berada di tangan ‘Aisyah. Ketika ‘Aisyah wafat maka aku mengambilnya. Dahulu jubah ini dipakai Rasulullah shollallaah ‘alaih wa sallam, oleh karenanya kita mencucinya (agar diambil berkahnya) sebagai obat bagi orang-orang yang sakit”.
Semoga bermanfaat.

HIKMAH DALAM KESABARAN

Dari Suhaib r.a., bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Sungguh menakjubkan perkaranya orang yang beriman, karena segala urusannya adalah baik baginya. Dan hal yang demikian itu tidak akan terdapat kecuali hanya pada orang mukmin; yaitu jika ia mendapatkan kebahagiaan, ia bersyukur, karena (ia mengetahui) bahwa hal tersebut merupakan yang terbaik untuknya. Dan jika ia tertimpa musibah, ia bersabar, karena (ia mengetahui) bahwa hal tersebut merupakan hal terbaik bagi dirinya." (HR. Muslim)

Sekilas Tentang Hadits
Hadits ini merupakan hadits shahih dengan sanad sebagaimana di atas, melalui jalur Tsabit dari Abdurrahman bin Abi Laila, dari Suhaib dari Rasulullah SAW, diriwayatkan oleh:
§ Imam Muslim dalam Shahihnya, Kitab Al-Zuhud wa Al-Raqa'iq, Bab Al-Mu'min Amruhu Kulluhu Khair, hadits no 2999.

§ Imam Ahmad bin Hambal dalam empat tempat dalam Musnadnya, yaitu
hadits no 18455, 18360, 23406 & 23412.
§ Diriwayatkan juga oleh Imam al-Darimi, dalam Sunannya, Kitab Al-Riqaq, Bab Al-Mu'min Yu'jaru Fi Kulli Syai', hadits no 2777.

Makna Hadits Secara Umum
Setiap mukmin digambarkan oleh Rasulullah saw. sebagai orang yang
memiliki pesona, yang digambarkan dengan istilah `ajaban'. Pesona berpangkal dari adanya positif thinking seorang mukmin. Ketika mendapatkan kebaikan, ia refleksikan dalam bentuk syukur terhadap Allah swt. Karena ia paham, hal tersebut merupakan anugerah Allah
Dan tidaklah Allah memberikan sesuatu kepadanya melainkan pasti sesuatu tersebut adalah positif baginya. Sebaliknya, jika ia mendapatkan suatu musibah, ia akan bersabar. Karena ia yakin, hal tersebut merupakan pemberian sekaligus cobaan bagi dirinya yang ada rahasia kebaikan di dalamnya. Sehingga refleksinya adalah dengan bersabar dan mengembalikan semuanya kepada Allah swt.
Urgensi Kesabaran
Kesabaran merupakan salah satu ciri mendasar orang yang bertaqwa. Bahkan sebagian ulama mengatakan bahwa kesabaran setengah keimanan. Sabar memiliki kaitan erat dengan keimanan: seperti kepala dengan jasadnya. Tidak ada keimanan yang tidak disertai kesabaran, sebagaimana tidak ada jasad yang tidak memiliki kepala. Oleh karena itu, Rasulullah saw. menggambarkan ciri dan keutamaan orang beriman sebagaimana hadits di atas.
Makna Sabar
Sabar merupakan istilah dari bahasa Arab dan sudah menjadi istilah bahasa Indonesia. Asal katanya adalah "shabara", yang membentuk infinitif (masdar) menjadi "shabran".

Dari segi bahasa, sabar berarti menahan dan mencegah. Menguatkan makna seperti ini adalah firman Allah dalam Al-Qur'an: "Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas." (Al-Kahfi: 28) Perintah bersabar pada ayat di atas adalah untuk menahan diri dari keingingan `keluar' dari komunitas orang-orang yang menyeru Rabnya serta selalu mengharap keridhaan-Nya. Perintah sabar di atas sekaligus juga sebagai pencegahan dari keinginan manusia yang ingin bersama dengan orang-orang yang lalai dari mengingat Allah swt.
Sedangkan dari segi istilahnya, sabar adalah menahan diri dari sifat kegundahan dan rasa emosi, kemudian menahan lisan dari keluh kesah serta menahan anggota tubuh dari perbuatan yang tidak terarah.
Amru bin Usman mengatakan, bahwa sabar adalah keteguhan bersama Allah, menerima ujian dari-Nya dengan lapang dan tenang. Hal senada juga dikemukakan oleh Imam Al-Khawas, "Sabar adalah refleksi keteguhan untuk merealisasikan Al-Qur'an dan sunnah. Sehingga sabar tidak identik dengan kepasrahan dan ketidakmampuan. Rasulullah SAW. memerintahkan umatnya untuk sabar ketika berjihad. Padahal jihad adalah memerangi musuh-musuh Allah, yang klimaksnya adalah menggunakan senjata (perang)."

Sabar Sebagaimana Digambarkan Dalam Al-Qur'an
Dalam Al-Qur'an banyak ayat yang berbicara mengenai kesabaran. Jika ditelusuri, terdapat 103 kali disebut dalam Al-Qur'an, baik berbentuk isim maupun fi'ilnya. Hal ini menunjukkan betapa kesabaran menjadi perhatian Allah swt.
1. Sabar merupakan perintah Allah. "Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan kepada Allah dengan sabar dan shalat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar." (Al-Baqarah: 153). Ayat-ayat yang serupa Ali Imran: 200, An-Nahl: 127, Al-Anfal: 46, Yunus: 109, Hud: 115.
2. Larangan isti'jal (tergesa-gesa). "Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka…" (Al-Ahqaf: 35)
3. Pujian Allah bagi orang-orang yang sabar: "…dan orang-orang yang bersabar dalam kesulitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar imannya dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa." (Al-Baqarah: 177)
4. Allah akan mencintai orang-orang yang sabar. "Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar." (Ali Imran: 146)
5. Kebersamaan Allah dengan orang-orang yang sabar. Artinya Allah senantiasa akan menyertai hamba-hamba-Nya yang sabar. "Dan bersabarlah kamu, karena sesungguhnya Allah itu beserta orang-orang yang sabar." (Al-Anfal: 46)
6. Mendapatkan pahala surga dari Allah. (Ar-Ra'd: 23 - 24)
Kesabaran Sebagaimana Digambarkan Dalam Hadits
Sebagaimana dalam Al-Qur'an, dalam hadits banyak sekali sabda Rasulullah yang menggambarkan kesabaran. Dalam kitab Riyadhus Shalihin, Imam Nawawi mencantumkan 29 hadits yang bertemakan sabar. Secara garis besar:
1. Kesabaran merupakan "dhiya' " (cahaya yang amat terang). Karena dengan kesabaran inilah, seseorang akan mampu menyingkap kegelapan. Rasulullah mengungkapkan, dan kesabaran merupakan cahaya yang terang" (HR. Muslim)
2. Kesabaran merupakan sesuatu yang perlu diusahakan dan dilatih secara optimal. Rasulullah pernah menggambarkan: "Barang siapa yang mensabar-sabarkan diri ( berusaha untuk sabar ), maka Allah akan menjadikannya seorang yang sabar…" (HR. Bukhari)
3. Kesabaran merupakan anugerah Allah yang paling baik. Rasulullah mengatakan, "dan tidaklah seseorang itu diberi sesuatu yang lebih baik dan lebih lapang daripada kesabaran." (Muttafaqun Alaih)

4. Kesabaran merupakan salah satu sifat sekaligus ciri orang mukmin,
sebagaimana hadits yang terdapat pada muqadimah; "Sungguh menakjubkan perkara orang yang beriman, karena segala perkaranya adalah baik. Jika ia mendapatkan kenikmatan, ia bersyukur karena (ia mengatahui) bahwa hal tersebut adalah memang baik baginya. Dan jika ia tertimpa musibah atau kesulitan, ia bersabar karena (ia mengetahui) bahwa hal tersebut adalah baik baginya." (HR. Muslim)
5. Seseorang yang sabar akan mendapatkan pahala surga. Dalam sebuah hadits digambarkan; Dari Anas bin Malik ra berkata, bahwa aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, "Sesungguhnya Allah berfirman, `Apabila Aku menguji hamba-Ku dengan kedua matanya, kemudian dia bersabar, maka aku gantikan surga baginya'." (HR. Bukhari)

6. Sabar merupakan sifat para nabi. Ibnu Mas'ud dalam sebuah riwayat
pernah mengatakan: Dari Abdullan bin Mas'ud berkata"Seakan-akan aku memandang Rasulullah saw. menceritakan salah seorang nabi, yang dipukuli oleh kaumnya hingga berdarah, kemudian ia mengusap darah dari wajahnya seraya berkata, `Ya Allah ampunilah dosa kaumku, karena sesungguhnya mereka tidak mengetahui." (HR. Bukhari)

7. Kesabaran merupakan ciri orang yang kuat. Rasulullah pernah
menggambarkan dalam sebuah hadits; Dari Abu Hurairah ra berkata, bahwa Rasulullah bersabda, "Orang yang kuat bukanlah yang pandai bergulat, namun orang yang kuat adalah orang yang memiliki jiwanya ketika marah." (HR. Bukhari)
8. Kesabaran dapat menghapuskan dosa. Rasulullah menggambarkan dalam sebuah haditsnya; Dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullan saw. bersabda, "Tidaklah seorang muslim mendapatkan kelelahan, sakit, kecemasan, kesedihan, mara bahaya dan juga kesusahan, hingga duri yang menusuknya, melainkan Allah akan menghapuskan dosa-dosanya dengan hal tersebut." (HR. Bukhari & Muslim)

9. Kesabaran merupakan suatu keharusan, dimana seseorang tidak boleh putus asa hingga ia menginginkan kematian. Sekiranya memang sudah sangat terpaksa hendaklah ia berdoa kepada Allah, agar Allah memberikan hal yang terbaik baginya; apakah kehidupan atau kematian. Rasulullah saw. mengatakan; Dari Anas bin Malik ra, bahwa Rasulullah SAW. bersabda, "Janganlah salah seorang diantara kalian mengangan-
angankan datangnya kematian karena musibah yang menimpanya. Dan sekiranya ia memang harus mengharapkannya, hendaklah ia berdoa, `Ya Allah, teruskanlah hidupku ini sekiranya hidup itu lebih baik untukku. Dan wafatkanlah aku, sekiranya itu lebih baik bagiku." (HR. Bukhari Muslim)
Bentuk-Bentuk Kesabaran
Para ulama membagi kesabaran menjadi tiga:
1. Sabar dalam ketaatan kepada Allah. Merealisasikan ketaatan kepada Allah, membutuhkan kesabaran, karena secara tabiatnya, jiwa manusia
2. Enggan untuk beribadah dan berbuat ketaatan. Ditinjau dari penyebabnya, terdapat tiga hal yang menyebabkan insan sulit untuk sabar. Pertama karena malas, seperti dalam melakukan ibadah shalat. Kedua karena bakhil (kikir), seperti menunaikan zakat dan infaq. Ketiga karena keduanya, (malas dan kikir), seperti haji dan jihad.
3. Sabar dalam meninggalkan kemaksiatan. Meninggalkan kemaksiatan juga membutuhkan kesabaran yang besar, terutama pada kemaksiatan yang sangat mudah untuk dilakukan, seperti ghibah (baca; ngerumpi), dusta, dan memandang sesuatu yang haram.
Sabar dalam menghadapi ujian dan cobaan dari Allah, seperti mendapatkan musibah, baik yang bersifat materi ataupun inmateri; misalnya kehilangan harta dan kehilangan orang yang dicintai.
Kiat-kiat Untuk Meningkatkan Kesabaran
Ketidaksabaran ( isti'jal) merupakan salah satu penyakit hati, yang harus diterapi sejak dini. Karena hal ini memilki dampak negatif pada amal. Seperti hasil yang tidak maksimal, terjerumus kedalam kemaksiatan, enggan melaksanakan ibadah. Oleh karena itulah, diperlukan beberapa kiat guna meningkatkan kesabaran. Di antaranya:
1. Mengikhlaskan niat kepada Allah swt.
2. Memperbanyak tilawah (membaca) Al-Qur'an, baik pada pagi, siang, sore ataupun malam hari. Akan lebih optimal lagi manakala bacaan tersebut disertai perenungan dan pentadaburan.
3. Memperbanyak puasa sunnah. Puasa merupakan ibadah yang memang secara khusus dapat melatih kesabaran.
4. Mujahadatun nafs, yaitu sebuah usaha yang dilakukan insan untuk berusaha secara giat untuk mengalahkan nafsu yang cenderung suka pada hal-hal negatif, seperti malas, marah, dan kikir.
5. Mengingat-ingat kembali tujuan hidup di dunia. Karena hal ini akan memacu insan untuk beramal secara sempurna.
6. Perlu mengadakan latihan-latihan sabar secara pribadi. Seperti ketika sedang sendiri dalam rumah, hendaklah dilatih untuk beramal ibadah dari pada menyaksikan televisi, misalnya. Kemudian melatih diri untuk menyisihkan sebagian rezeki untuk infaq fi sabilillah.

walla hu'alam bisshowaf